REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pangan Nasional (NFA) mengakui adanya kelemahan dalam sistem pengelolaan cadangan beras di Perum Bulog. Kelamahan itu lantas berujung pada menipisnya stok beras saat ini hingga mengarah pada opsi impor demi meningkatkan cadangan beras di Bulog.
Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi, menuturkan, cadangan beras Bulog per November hanya sebesar 569 ribu ton. Sementara, untuk stabilisasi di bulan November-Desember diperlukan pelepasan stok sekitar 150-200 ribu ton per bulan untuk intervensi pasar demi meredam gejolak harga dan lonjakan inflasi.
Sementara itu, pemerintah menargetkan cadangan beras di Bulog bisa mencapai 1,2 juta ton di akhir tahun ini. Arief mengatakan, pemerintah hingga saat ini tetap mengutamakan hasil produksi dalam negeri untuk meningkatkan cadangan beras Bulog.
"Tetapi apabila sampai waktunya belum juga bisa terpenuhi, terpaksa last option harus kita cukupi dari luar,” kata Arief dalam keterangan resminya, diterima Republika.co.id, Rabu (30/11/2022).
Ia menjelaskan, idealnya pemenuhan cadangan beras Bulog dapat dioptimalisasikan pada musim panen raya semester I bulan Maret dan April. Dengan begitu, pada semester II dapat dilakukan intervensi pasar pada akhir tahun dengan kisaran volume 150 ribu ton per bulan dan 200 ribu ton per bulan pada Januari-Februari 2023.
Dalam intervensi tersebut pemerintah pun dapat melepas beras dengan harga terjangkau di masyarakat sebesar Rp 9.000 per kg. Disinyalir, salah satu penyebab kurang optimalnya sistem pengelolaan cadangan beras Bulog pada semester I akibat kurang banyaknya outlet penyaluran beras Bulog.
"Sehingga, dikhawatirkan apabila Bulog memiliki terlalu banyak stok, namun kurang dalam hilirisasinya maka akan sulit dalam menjaga kualitas stoknya," ujar dia.
Namun pada situasi saat ini, harga gabah di tingkat petani dan pedagang pun cukup tinggi akibat tingginya harga pupuk, kenaikan harga BBM, serta meningkatnya biaya operasional pelaku usaha. Ini menjadi tantangan bagi NFA untuk menjaga pertumbuhan ekonomi selaras dengan tingkat inflasi.
“Untuk itu kedepan sebaiknya kita bersama sama Kementerian dan Lembaga lainnya harus duduk menyiapkan sistem untuk mengatur turn over stok beras Bulog. Salah satu caranya kembali mengintegrasikan program-program pemerintah seperti bansos, raskin menggunakan beras Bulog,” tegasnya.
Arief mengingatkan peran cadangan beras Bulog sangat penting. Sebab beras merupakan salah satu instrumen bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat karena menyumbang inflasi dalam tiga bulan terakhir sekitar 3-4 persen.
Di samping itu, sebagai instrumen pengendalian inflasi, cadangan beras Bulog dipergunakan untuk berbagai keperluan baik stabilisasi pasokan dan harga beras, bantuan bagi korban bencana alam, hingga bantuan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebagai informasi, data Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras di bulan November mencapai 2,2 juta ton dan Desember 1 juta ton sehingga totalnya sekitar 3 juta ton.
Adapun kebutuhan konsumsi beras sekitar 2,5 juta ton per bulan atau 5 juta ton di dua bulan terakhir 2022, sehingga terdapat selisih defisit sekitar 2 juta ton.
“Dengan stok yang ada dari panen-panen sebelumnya kebutuhan beras Nataru cukup. Kita menjamin stok beras cukup, jadi masyarakat jangan khawatir dan tidak perlu panik dengan berbelanja berlebihan, karena pemerintah akan menjaga agar stok beras ini bisa tersebar merata di masyarakat,” tegasnya.