Kamis 01 Dec 2022 05:15 WIB

Kasus Obat Sirup, Legislator Desak Pemerintah Perluas Wewenang BPOM

Pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan menjadi sesuatu yang sangat krusial

Rep: santi sopia/ Red: Hiru Muhammad
 Seorang apoteker Indonesia berbincang dengan pelanggannya di pasar obat Pramuka di Jakarta, Selasa, 8 November 2022. Menurut Menteri Kesehatan RI Budi G. Sadikin, departemen kesehatan terus berupaya menekan kasus baru Gagal Ginjal Akut pada anak-anak, yang disebabkan dengan konsumsi obat sirup. Hingga 05 November, terdapat 324 kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak dimana 102 telah sembuh, 194 meninggal dan 28 masih dirawat.
Foto: EPA-EFE/Bagus Indahono
Seorang apoteker Indonesia berbincang dengan pelanggannya di pasar obat Pramuka di Jakarta, Selasa, 8 November 2022. Menurut Menteri Kesehatan RI Budi G. Sadikin, departemen kesehatan terus berupaya menekan kasus baru Gagal Ginjal Akut pada anak-anak, yang disebabkan dengan konsumsi obat sirup. Hingga 05 November, terdapat 324 kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak dimana 102 telah sembuh, 194 meninggal dan 28 masih dirawat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus kematian anak akibat gagal ginjal yang diduga karena cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada obat sirup anak mendorong legislator daerah mendesak DPR RI dan pemerintah pusat untuk segera mengesahkan RUU POM yang sempat tertunda. Tentunya akibat kasus ini, BPOM sangat disorot.

Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto mengatakan pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan menjadi sesuatu yang sangat krusial karena menyangkut kesehatan dan keselamatan jiwa.

Baca Juga

“Kami di daerah berharap adanya intervensi pemerintah untuk memastikan obat maupun makanan yang beredar di tengah masyarakat memenuhi status aman, sehat, utuh, dan halal,” kata dia, dalam keterangannya, dikutip Selasa (29/11).

Atang mengatakan bahwa kasus ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, tentang pengawasan yang kurang optimal dari instansi terkait yang menurutnya bukan hanya BPOM saja, tapi juga Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Perdagangan sebagai penanggungjawab langsung terhadap impor bahan baku obat serta penjamin mutu keamanan.

Kedua, adanya kesenjangan dalam mengawasi pelaku industri farmasi yang nakal. Pengawasan terhadap industri farmasi harus dilakukan secara kontinu dan tanpa pandang bulu. Dalam konteks obat, berlaku zero fault, tidak boleh ada kesalahan sedikit karena akibatnya akan fatal. Terakhir adalah terkait kewenangan BPOM.

RUU POM saat ini masih belum menjadi prioritas, terbukti masih belum masuk Prolegnas. Padahal, isu keamanan obat merupakan isu yang terkait langsung dengan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Belum masuknya RUU POM sebagai prolegnas mengindikasikan bahwa obat dan makanan bukan sebagai prioritas masalah masyarakat. Untuk itu, pembahasan RUU POM ini penting untuk segera dilakukan.

Ke depannya, dia menilai perlu dikuatkan kelembagaan yang bisa melakukan pengawasan sekaligus juga penindakan. Saat ini BPOM bertindak sebagai pengawas peredaran obat dan makanan, namun kewenangannya terbatas.

Anggota DPRD Kota Batam Rohaizat mengatakan kasus ini sudah menjadi isu nasional dan harus menjadi perhatian para pemegang kebijakan baik di pusat maupun daerah. Baru-baru ini BPOM Batam juga menarik 81.000 obat sirup yang mengandung cemaran tersebut dari setiap apotek dan toko obat yang ada di kota ini.“Kami di Batam memandang bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es,” jelasnya.

Anggota Komisi III DPRD Kota Batam tersebut pun mendesak pemerintah pusat dan DPR RI untuk serius menggolkan RUU POM, karena semakin lama dibiarkan kasus-kasus model seperti ini akan terjadi lagi. BPOM harus diberikan otoritas yang lebih luas Sebagai pengawas dan regulator. Dia menilai BPOM perlu diberi wewenang untuk melakukan penindakan hukum atas distributor dan pelaku industri farmasi yang nakal.

Selain itu, BPOM juga perlu diberi wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap jual beli obat secara daring. Menurutnya, masyarakat saat ini dengan mudah mendapatkan obat dari luar negeri, padahal obat-obat tersebut tidak memiliki izin edar dan belum melalui proses pengujian laboratorium.

Kewenangan melakukan pemblokiran terhadap situs penjualan obat daring harus diberikan pada BPOM. Meski ini ranahnya Kemkominfo, namun bisa diserahkan pada BPOM khusus untuk obat dan makanan. Adapun Kemkominfo bisa fokus ke situs-situs lain non obat. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement