REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) menjatuhkan sanksi kepada delapan orang dan tujuh perusahaan yang diduga terlibat dengan Korea Utara (Korut), Jumat (2/12/2022). Mereka diduga terlibat dalam kegiatan terlarang untuk membiayai program senjata nuklir dan rudal Korut yang terus berkembang.
Perusahan-perusahan itu terlibat dalam berbagai upaya Korut untuk menghindari sanksi Dewan Keamanan PBB untuk membiayai program senjatanya, termasuk transfer bahan bakar dari kapal ke kapal dan ekspor ilegal. Mereka yang tercantum dalam sanksi termasuk enam pejabat dari empat bank Korut yang berbeda, seorang warga negara Taiwan bernama Chen Shih Huan, dan seorang warga Singapura bernama Kwek Kee Seung.
Sedangkan empat dari perusahaan yang terkena sanksi adalah perusahaan perdagangan dan pelayaran Korut dan tiga lainnya adalah perusahaan pelayaran yang berbasis di Singapura. “Pemerintah (kami) telah menjaga koordinasi yang erat dengan AS dan Jepang sehingga individu dan kelompok yang sama ditempatkan bersama di bawah sanksi sepihak dari negara terkait untuk meningkatkan kesadaran masyarakat internasional dan memperkuat efektivitas sanksi,” kata pernyataan itu.
Korsel memberlakukan sanksi pada Oktober terhadap 15 individu dan 16 organisasi yang dituduh mendukung pengembangan senjata Korut. Keputusan ini merupakan sanksi sepihak pertama Seoul terhadap Pyongyang dalam lima tahun.
Sanksi Korsel diumumkan tak lama setelah Departemen Keuangan AS mengatakan pihaknya memberi sanksi kepada tiga anggota Partai Buruh yang berkuasa di Korut. Mereka memberikan dukungan untuk pengembangan senjata nuklir dan balistik negara itu.
Langkah yang melarang warga Korsel melakukan segala jenis bisnis dengan mereka tanpa izin. Tindakan ini sebagian besar bersifat simbolis karena hanya ada sedikit transaksi keuangan antara kedua Korea. Walau begitu langkah-langkah itu mungkin masih menimbulkan tanggapan jengkel dari Korut.
Pyongyang menyebut Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol dan pemerintahnya "idiot" dan "anjing liar menggerogoti tulang yang diberikan oleh Amerika Serikat." Pernyataan ini muncul setelah Seoul mengatakan sedang mempertimbangkan untuk menerapkan lebih banyak sanksi sepihak terhadap Pyongyang.