Mengapa di setiap masjid tua yang tersebar di pedalaman Jawa hampir selalu ada sisa pohon sao di sana? Jawabnya, memang selain tersurat dalam bentuk berbagai bangunan pesantren, jaringan ulama di wilayah selatan Jawa itu tersirat dalam bentuk tanaman pohon di halaman asrama para santri yang kerap di lazim di sebut pesantren. Sejarawan asal Inggris yang menekuni penulisan sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey, pada suatu perbincangan mengungkapkan setelah Perang Jawa usai para pengikutnya menyebar sembari menaman pohon sawo di tempat tinggalnya.Pohon sawa adalah kode dari jaringan itu. Kode lainnya adalah pohon kemuning
''Pohon sawo itu tanda jaringan Pangeran Diponegoro. Bila kemudian muncul perintah untuk bergerak lagi, maka tinggal di cek siapa yang memerintahkannya itu. Dan bila di depan kediamannya ada pohon sawo maka itu jelas masih merupakan jaringannya,'' kata Carey.
Pesantren Abdul Kahfi Somalangu,Kebumen. lihat pohon sawo yang ada di depannya.Di kawasan Selatan Jawa itu, memang banyak sekali anak keturunan Pangeran Diponegoro yang menjadi ulama dengan mendirikan pesantren. Alhasil, di beberapa 'pesantren berpengaruh' di wilayah itu bisa ditemukan pohon sawo. Di Pesantren Al Kahfi Somalangu misalnya masih ditemukan pohon Sawo yang tua, baik jenis sawo kecik maupun sawo biasa.
''Pohon sawo keciknya baru saja di tebang terkena perluasan halaman pesantren. Sedangkan pohon sawo jenis yang biasa masih tumbuh subur di samping masjid,'' kata Hidayat Aji Pambudi, pengurus Yayasan Pesantren Al Kahfi.
Di tempat lain, misalnya di 'Masjid Pathok Negara' Ploso Kuning, Sleman Yogyakarta, pohon sawo kecik raksasa masih menjulang tinggi. Masjid yang dahulunya menjadi salah satu tempat mengaji Pangeran Diponegoro ketika menjadi santrai Kiai Mustofa yang mengasuh pondok tersebut. Pohon sawo itu masih bisa dilihat sampai sekarang (lihat foto di atas).
''Dunia orang Jawa kan penuh perlambang atau isyarat. Pohon sawo tampaknya digunakan sebagai 'perlambang' (isyarat) dari perintah untuk taat meluruskan shaf ketika hendak shalat: sawwu shufufakum (luruskan shafmu)' kata peneliti dunia pesantren di kawasan selatan Jawa, Ahmad Khoirul Fahmi. Sedangkan sawo kecik itu dmemberi pesan setelah meluruskan shaf (bersatu membentuk jaringan) jadilah orang yang 'becik' (baik).
Fahmi menceritakan, sebagai seorang kiai ayahnya selalu menasihatkan, dengan mengutip kalimat tersebut terutama ketika anak-anak selalu ribut saat akan shalat berjamah."Kata Ayah saya, ingat di depan masjid kita ada pohon sawo. Jadi, segera laksanakan shalat ketika kamu dengar imam memberi perintah luruskan atau rapikan Shafmu."
Beberapa cicit Pangeran Diponegoro atau kiai yang berdarah bangsawan keraton Yogyakarta yang kemudian menjadi ulama berpengaruh di wilayah ini adalah KHMuhammad Ilyas dan KH Abdul Malik (di Sokaraja), KH Badawi di Kesugihan, KH Masurudi (di Baturaden Purwokerto).
Bila demikian, wajar bila banyak pesantren tua yang ada di berbagai pesantren tua banyak di tanam pohon jenis sawo biasa atau sawo kecik yang ternyata itu isyarat adanya jaringan ulama. Dan dulu para kiai kerapkali memang menyuruh santrinya menanam pohon ini ketika hendak menamatkan masa pendidikannya. Sawo kecik dipilih selain buahnya manis karena juga punya sinonim dalam bahasa Jawa: sarwo becik (serba baik).
Di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran,Magetan Jawa Timur, pohon sawo kecik juga berdiri tegak menjulang tinggi persis di tengah halaman masjid. Pesantren yang didirikan salah satu panglima perang pasukan Diponegoro, Pangeran Kertopati, lagi-lagi menjadi bukti adanya simpul pergerakan atau 'jaringan Islam' di situ.
''Pohon sawo itu sudah ada dari dulu. Bahkan ketika saya lahir pohon itu sudah ada,'' kata Pengasuh Pondok Pesantren Takeran, KH Zakaria.Meski begitu dia mengaku tak tahu persis mengenai makna pesan yang terkait dari ditanamnya pohon tersebut.
''Seusai perang Diponegoro berakhir, Pangeran Kertopati berhasil bersembunyi di hutan yang ada di sekitar lereng Gunung Lawu. Setelah situasinya reda eyang saya mulai mendirikan langgar, yang kemudian oleh salah satu putranya, yakni KH Hasan pada tahun 1880 mulai dirintis dan dibesarkan menjadi pesantren hingga sekarang ini,'' ujar Zakaria.
Keliatan jaringan pergerakan Islam yang diisyaratkan oleh pohon sawo tua tersebut, pun telah dibuktikan oleh kiprah Pesantren Takeran itu. Bukti yang paling nyata adalah peran pesantren itu dalam masa menjelang dan masa awal kemerdekaan. Harap diketahui di pesantren itulah pendirian partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) digagas. Tak hanya itu berbagai pemikiran mengenai pembentukan dasar negara dari kelompok umat Islam yang akan dibawa ke rapat BPUPKI di pesantren inilah dulu dimatangkan.
''Istilahnya, di Pesantren Takeran ide itu diolah atau dimasak. Lalu ketika siap disajikan maka itu diajukan di Pesantren Tebu Ireng Jombang,'' kata Zakaria.
Dan sebagai pusat pergerakan Islam, tentu saja Pesantren Takeran kerap menjadi sorotan. Bukan hanya itu saja pesantren ini juga acapkali menjadi korban pergerakan politik. Di zaman pra kemerdekaan, selain punya hubungan emosional dengan 'pergulatan perang Jawa' (Perang Diponegoro), pesanren ini pernah menjadi melakukan perlawanan terhadap penguasa Kerjaan Mangkunegaran Solo karena bertindak sewenang-wenang. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1916-an.
Namun kisah yang paling tragis dari Pesantren itu terjadi pada masa awal kemerdekaan, tepatnya pada 17 September 1948. Saat itu gerombolan pemberontak PKI pimpinan Muso menyerbu dan menculik penghuni pesantren itu. Akibatnya, pengasuh pengasuh pondok dan beberapa santri hilang. Beberapa diantaranya jasadnya kemudian ditemukan disebuah lubang sumur tua yang berada di tengah perkebunan tebu.
''untuk Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren itu lainnya sampai kini jasadnya belum ditemukan,'' begitu tulis KH Abdurrahman Wahid, dalam sebuah tulisannya di Majalah Persepsi yang terbit pada tahun 1982.
Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur. Lihat suasana masjidnya sangat bernuaansa Jawa. Di depan pesantren ini tumbuh pohon sawo.Namun, di masa kini isyarat pohon sawo meski bermakna dalam, namun mulai dilupakan. Hal inilah misalnya menimpa pesantren peninggalan Pahlawan Nasional asal Bekasi, KH Noer Alie. Beberapa bulan silam pohon sawo tua yang di depan pesantrennya itu dikabarkan ditebang.
Mendengar ini tentu saja membuat hati orang yang tahu makna pohon itu seperti teriris-iris. Isyarat pergerakan Islam rupanya tak dikenali lagi!