Senin 05 Dec 2022 04:09 WIB

1/2 1 atau musyawarah?

Demokrasi kini menjadi 1/2 1

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

(Foto kanan Mr Moh. Roem, kiri Sutan Syahrir)
(Foto kanan Mr Moh. Roem, kiri Sutan Syahrir)

Musyawarah mufakat dengan hikmah kebijaksanaan perwakilan. Demikian bunyi sebuah sila dalam Pancasila.

Kalimat ini punya akar peradaban yang kuat. Lembaga musyawarah instrumen dalam Kuasa adat yang merupakan model power system yang pertama yang dilaksanakan di Indonesia dengan nomenclatur yang bermacam-macam.

Kuasa adat dapat menjadi tandem (sekutu) zona econ atau kerajaan. Kuasa adat sebagai mayor power system pengaruhnya lebih besar dari kerajaan sebagai the existing power holder dalem menentukan raja baru. Sebagaimana di Mesir, Dewan Pandita lebih menentukan dalam menentukan the coming Pharao dari pada the existing Pharao.

Adat dengan mekanisme musyawarah, di era kemerdekaan, tergeser demokrasi dengan rumus rule of the game (1/2 + 1).

Tahun 1950-1959 kita berdemokrasi. Umur pemerintah bergantung mosi tidak percaya di Parlemen tembus rumus (1/2 + 1) apa tidak. Lolos apa tidak kata kunci pada koehandel, dagang sapi. Partai yang dukung mosi bisa dapat kursi di kabinet berikut. Tentu tak semua partai jaman itu suka koehandel (dagang sapi).

Ongkos yang harus dibayar dari demokrasi koehandel: stabilitas pemerintahan goyah terus.

Dengan dekrit Soekarno akhiri demokrasi model ini tapi BK tetap gunakan term demokrasi dengan konten otokrasi.

Maka muncul Orde Baru dengan label demokrasi pembangunan. Penguasa tak berganti tembus tiga dasawarsa.

Reformasi kemudian berhadir dengan menerapkan nummerical calculation di segala bidang .

Status konstitusi pun tak jelas setelah empat kali perubahan. Pendaftaran untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid ditolak dengan alasan format batang tubuh konstitusi ciptaan Reformasi tak dikenal. Artinya onrechterlijk.

Apakah dapat diberlakukan? Sementara UUD 45 asli tetap dalam daftar Berita Negara (istilah sebelum LN) bulan Januari 1946.

Tidak ada klarifikasi soal ini. Pembelaan pihak reformasi onwetenschapelijk en onrechtlijk, ngaco kayak ta'oco, tapi ta'oco enak.

Penulis: Ridwan Saidi, Budayawan Betawi dan Sejarawan Betawi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement