Senin 05 Dec 2022 08:59 WIB

Polusi Udara Bunuh Puluhan Ribu Warga Bangladesh pada 2019

Ibu kota Bangladesh, Dhaka, menduduki peringkat kedua sebagai kota paling tercemar

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Ibu kota Bangladesh, Dhaka, menduduki peringkat sebagai kota paling tercemar kedua di dunia dari 2018 hingga 2021
Foto: EPA
Ibu kota Bangladesh, Dhaka, menduduki peringkat sebagai kota paling tercemar kedua di dunia dari 2018 hingga 2021

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Lingkungan pernapasan yang beracun berkembang karena polusi udara yang tak kunjung reda di Bangladesh. Menurut  laporan Bank Dunia yang diterbitkan di Dhaka pada Ahad (4/12/2022), kondisi itu merenggut sekitar 78.145 hingga 88.229 nyawa pada 2019.

Polusi udara membuat semua orang berisiko dari anak-anak hingga orang tua. Bank Dunia menyatakan, polusi udara menelan biaya sekitar 3,9 persen hingga 4,4 persen dari PDB negara pada tahun yang sama.

Ibu kota Bangladesh, Dhaka, menduduki peringkat sebagai kota paling tercemar kedua di dunia dari 2018 hingga 2021. Posisi bertahan ini terjadi karena meningkatnya kesulitan bernapas, batuk, infeksi saluran pernapasan bawah, depresi, dan kondisi kesehatan lainnya. Laporan berjudul Breathing Heavy: New Evidence on Air Pollution and Health in Bangladesh juga menilai dampak polusi udara luar ruangan terhadap kesehatan fisik dan mental.

"Peningkatan satu persen paparan PM2.5 (materi partikulat) di atas pedoman kualitas udara WHO (AQG) dikaitkan dengan kemungkinan depresi 20 persen lebih tinggi,” laporan itu.

Profesor di Departemen Kimia Dhaka University Abdus Salam percaya jumlah kematian akibat polusi udara bisa jauh lebih banyak daripada yang disebutkan oleh Bank Dunia. "Sekitar satu dekade yang lalu Bangladesh telah mengambil beberapa langkah dan mengurangi polusi udara, tetapi sekarang situasinya semakin memburuk," kata ahli yang bekerja dan mempelajari polusi udara di negara itu selama dua dekade terakhir dikutip dari //Anadolu Agency//.

Salam menyatakan, instansi pemerintah tidak mengambil tindakan yang efektif dan nyata untuk memperbaiki situasi. Konstruksi utama dan lalu lintas yang padat di Dhaka memiliki tingkat polusi udara tertinggi, rata-rata 150 persen di atas pedoman kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Tempat pembakaran batu bata berkontribusi 12-13 persen terhadap polusi udara sementara emisi gas dari kendaraan, kegiatan konstruksi yang tidak terbongkar, dan polusi udara lintas batas adalah salah satu penyebab utama udara terburuk di Dhaka dan bagian lain negara ini,” ujar Salam.

Polutan udara juga diangkut ke kota Dhaka melalui rute yang berbeda dari negara-negara seperti India dan Nepal. Salam menyarankan penggunaan bahan bakar yang dimurnikan dengan baik dalam kendaraan dan upaya diplomatik untuk mengekang polusi udara lintas batas.

"Mengatasi polusi udara sangat penting untuk pertumbuhan dan pembangunan negara yang berkelanjutan dan hijau,” kata pejabat direktur negara Bank Dunia untuk Bangladesh dan Bhutan Dandan Chen.

Polusi udara menyebabkan iklim berubah dan perubahan iklim memperburuk kualitas udara. Penulis utama laporan dan spesialis kesehatan Bank Dunia Wameq Azfar Raza menyarankan agar sektor kesehatan perlu dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi krisis kesehatan yang akan segera terjadi akibat polusi udara dan perubahan iklim.

"Seiring waktu, perubahan iklim dan urbanisasi akan semakin meningkatkan polusi udara,” katanya.

Bank Dunia menyetujui pembiayaan 250 juta dolar AS pada pekan lalu untuk membantu Bangladesh memperkuat pengelolaan lingkungannya. Dana ini pun akan digunakan dalam mendorong partisipasi sektor swasta dalam investasi hijau.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement