REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi terbaru (30 November 2022) yang masih memuat atau memasukkan pidana hukuman mati. "RKUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana," kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah di Jakarta, Senin (5/12/2022).
Tercantumnya pidana hukuman mati sebagai pidana alternatif tertuang dalam Pasal 67 dan 98. Hal tersebut dinilai Komnas HAM bertentangan dengan Pasal 28 (A) UUD 1945, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, hal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik dimana hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non derogable right). Meski demikian, Komnas HAM memberikan catatan kemajuan dalam RKUHP dimana hukuman mati tidak lagi menjadi hukuman pokok, namun pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu.
Selain itu, termasuk pula memasukkan pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk mengubah putusan hukuman mati. Senada dengan itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan sesuai prinsip HAM hukuman mati harus dihapuskan. Jika RKUHP yang disusun ingin membuat efek jera, maka masih banyak cara lain selain hukuman mati.
Di berbagai negara, kata dia, upaya penghapusan hukuman mati menyangkut banyak aspek yaitu sosiologis, kultural hingga politik yang tidak mudah untuk diputuskan. Kendati demikian, sambung dia, Komnas HAM tetap menyambut baik RKUHP versi terbaru masih mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menerapkan pidana hukuman mati, dan tidak menjadikannya sebagai pidana pokok (pidana alternatif).
"Kita harus terus memperbaiki hukum pidana agar semakin maju terutama dalam jaminan hak asasi manusia," ujarnya.