REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Uni Eropa telah membekukan kerja sama dengan polisi Israel, karena kekhawatiran mengenai kebijakan pemerintahan baru yang didominasi oleh sayap kanan. Pada September lalu, Israel dan Uni Eropa menandatangani rancangan perjanjian untuk meningkatkan transfer informasi intelijen. Kesepakatan itu membutuhkan persetujuan Parlemen Eropa.
"Uni Eropa memberi tahu Duta Besar Israel Haim Regev bahwa untuk saat ini, mereka akan berhenti mempromosikan rancangan perjanjian kerja sama intelijen antara polisi Israel dan Badan Polisi Eropa, Europol,” kata surat kabar Haaretz, mengutip sumber-sumber yang memiliki informasi lengkap, Rabu (7/12/2022).
Menurut Haaretz, Regev menerima keputusan penangguhan itu pada Jumat (2/12/2022) lalu. Pejabat Israel mengatakan kepada Haaretz bahwa, keputusan tersebut merupakan indikasi pertama Eropa bahwa perubahan kebijakan Israel di wilayah penduduka. Tepi Barat akan merusak kerja sama dengan Eropa.
Pada Senin (5/12/2022), Kepala Unit Kerjasama Penegakan Hukum Uni Eropa, Rob Rosenberg, mengatakan, perjanjian akhir mungkin mencakup pengecualian kecil yang terbatas pada situasi ancaman material dan kebutuhan untuk melindungi penduduk sipil. Menurut Haaretz, perjanjian yang muncul diharapkan mencakup klausul yang mencegah Israel menggunakan informasi apa pun yang diterimanya dari Eropa di wilayah Palestina. Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan, dan menganggap semua aktivitas pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah itu ilegal.
Perdana Menteri Israel terpilih Benjamin Netanyahu setuju untuk menawarkan politisi sayap kanan Itamar Ben-Gvir sebagai menteri keamanan nasional di pemerintahan baru. Langkah ini memicu kekhawatiran regional dan internasional.