Kamis 08 Dec 2022 00:40 WIB

Penyakit Langka Masih Intai Indonesia, Pemerintah Diminta Edukasi Masyarakat

Penyakit langka dialami 8-10 persen masyarakat Indonesia atau sekitar 27 jiwa.

Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pencegahan penyakit langka. Penyakit langka dialami 8-10 persen masyarakat Indonesia atau sekitar 27 jiwa.
Foto: Antara/Fauzan
Ilustrasi pencegahan penyakit langka. Penyakit langka dialami 8-10 persen masyarakat Indonesia atau sekitar 27 jiwa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Bangun kewaspadaan bersama untuk menghadapi munculnya kasus-kasus penyakit langka lewat sejumlah upaya antisipatif, dalam rangka melindungi setiap warga negara.  

"Meski langka dan terbilang sedikit jumlah kasusnya, negara harus hadir untuk memberi perlindungan dan bagaimana mengantisipasi munculnya kasus-kasus penyakit langka di Tanah Air," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Penyakit Langka untuk Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/12/2022).              

Baca Juga

Menurut Lestari, merupakan tugas negara dan kita semua, untuk membangun kewaspadaan dalam mengantisipasi munculnya kasus-kasus penyakit langka.  

Karena, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, sesuai konstitusi UUD 1945, negara memiliki tugas dan tanggung jawab melindungi seluruh warga negara, termasuk dari ancaman penyakit langka. 

Meski kasusnya jarang ditemukan, jelas Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, tata kelola penanggulangan penyakit langka patut diciptakan sehingga penanganan dapat segera dilakukan.  

Diakui Rerie, per 2018, tercatat 120 pasien yang terdiagnosis penyakit langka di Indonesia.  Sementara untuk kasus khusus seperti penyakit kulit langka atau epidermolysis bullosa, berdasarkan data Yayasan Debra Indonesia (yayasan yang menangani epidermolysis bullosa), per Oktober 2021 tercatat 66 pasien di Indonesia.  

Karena langka, anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat masyarakat bahkan petugas kesehatan di daerah seringkali tidak memahami, sehingga kemungkinan besar menghadapi kendala dalam menangani penyakit tersebut.    

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr Imran Pambudi, mengungkapkan hingga saat ini tercatat 7.000 jenis penyakit langka yang sudah terdeteksi dan mempengaruhi sekitar 350 juta penduduk dunia. 

Menurut Imran, penyakit langka ini menimbulkan masalah kesehatan yang dialami 8-10 persen populasi di Indonesia (27 juta jiwa).

Baca juga: Pernah Benci Islam hingga Pukul Seorang Muslim, Mualaf Eduardo Akhirnya Bersyahadat

Sangat disayangkan, ujar Imran, obat yang tersedia hanya mampu mengobati 5 persen dari 7.000 penyakit langka yang sudah terdeteksi saat ini.  

Selain itu, ujar Imran, pengobatan penyakit langka juga mahal, karena biasanya penyakit langka baru terdeteksi lewat pemeriksaan yang intensif.  

Imran berpendapat butuh kolaborasi semua pihak dalam penanggulangan penyakit langka di Tanah Air. Media massa bisa membantu lewat sosialisasi berbagai upaya pencegahan dan ciri penyakit langka.  

Selain itu, tambahnya, masyarakat  dan akademisi juga bisa membantu lewat penelitian dan dukungan pembiayaan penelitian terkait penyakit langka ini.  

Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Sunartini Hapsara, berpendapat, meski kategorinya penyakit langka tetapi mengancam jiwa, mengganggu kualitas hidup hingga timbulkan disabilitas, terhadap masayarakat.  

Karena itu, ujar Sunartini, penanganan dan pencegahan penyakit langka sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup.  

Dalam tata kelola penanganan penyakit langka, jelas Sunartini, penting dilakukan tahapan diagnosa. 

Tanpa diagnosa yang tepat tidak mungkin penatalaksanaan penyakit langka bisa baik sehingga skrining penting dilakukan pada fase neonatal, bayi dan anak, balita, usia sekolah hingga remaja, untuk memberikan tindakan yang tepat sejak dini terhadap gejala yang terdeteksi dari hasil skrining.  

Dalam pelaksanaan pengobatan dan penanganan penderita penyakit langka, ujar Sunartini, tidak boleh ada diskriminasi untuk mewujudkan proses pembangunan yang lebih inklusif.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement