REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) bersama Kementerian Pertanian (Kementan), dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan sinkronisasi data dan sepakat menggunakan satu data beras dari BPS. Langkah tersebut dalam rangka memastikan dan menjaga akurasi arah kebijakan beras nasional di akhir tahun ini dan di tahun 2023.
Hal tersebut mengemuka dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI, Rabu, (7/12/2022), di Jakarta. Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mengatakan, sinkronisasi data dan penggunaan satu data beras tersebut menghasilkan sejumlah kesepakatan, diantaranya penggunaan satu data BPS terkait produksi beras, kebutuhan beras rumah tangga, dan luar rumah tangga.
Selanjutnya, tambah Arief, kesepakatan tersebut disampaikan dalam perhitungan surplus dan defisit produksi beras nasional di tahun 2022, mengingat proyeksi surplus/defisit beras tersebut akan sangat menentukan mitigasi dan arah kebijakan beras di penghujung tahun ini.
“Berdasarkan data BPS antara Januari-Oktober 2022, proyeksi produksi beras di November dan Desember sejumlah 3,2 juta ton, dengan rata-rata konsumsi beras sekitar 2,5 juta ton per bulan, sehingga di akhir tahun kita akan surplus 1,7 juta ton,” ujarnya.
Arief mengatakan, terkait angka produksi tersebut NFA bersama Kementan telah sepakat menggunakan satu data BPS. Di RDP 28 November 2022, memang terdapat perbedaan angka produksi, kementan menggunakan amatan Januari-September 2022 sedangkan NFA menggunakan Januari-Oktober 2022, namun terakhir sudah disepakati angka produksi beras nasional 2,2 juta ton di November 2022 dan 1,06 juta ton di Desember 2022.
Selain itu, koordinasi sinkronisasi data kebutuhan beras pada tanggal 28 November tersebut juga telah berhasil menyepakati penghitungan konsumsi beras di November dan Desember, di mana sebelumnya terdapat perbedaan data kebutuhan beras antara prognosa NFA dengan BPS yang muncul karena perbedaan data jumlah penduduk yang digunakan dalam perhitungan. “Untuk data konsumsi beras kita sepakat di November dan Desember masing-masing 2,53 juta ton per bulan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Arief menjelaskan, secara umum penghitungan produksi beras disepakati menggunakan Kerangka Sample Area (KSA) dari BPS yang akan diupdate setiap bulan. Sedangkan, untuk variabel Kebutuhan Beras Rumah Tangga dihitung berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, dan untuk Kebutuhan Beras Luar Rumah Tangga dihitung berdasarkan data perkiraan jumlah penduduk per Kabupaten/Kota yang dihitung BPS.
Arief menambahkan, untuk selanjutnya akan dibentuk Tim Satu Data Beras, yang bertugas menjamin diperolehnya Satu data kebutuhan beras. “Tim merencanakan metode perhitungan Prognosa Neraca Pangan 2023 agar diperoleh data yang sama,” ucapnya.
Menurut Arief, kolaborasi pendataan ini merupakan progres yang baik dalam pembenahan dan penguatan sektor pangan nasional. “Kolaborasi berkelanjutan ini menunjukan bahwa NFA, Kementan, dan BPS memiliki semangat yang sama dalam mebenahi dan memperkuat sektor pangan khususnya perberasan nasional. Upaya singkronisasi pendataan beras ini juga sejalan dengan arahan Presiden RI yang mengatakan, ketersediaan beras nasional perlu dihitung sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga tidak menyebabkan kenaikan harga di pasaran,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala BPS Margo Yuwono pada kesempatan yang sama mengatakan, siap untuk terus mendukung penyediaan data beras sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan pangan nasional. “Menjadi bagian kami untuk terus berupaya mencari metode terbaik dalam melakukan estimasi indikator makro ekonomi terutama terkait dengan data mengenai pangan. Kami terus berkolaborasi mencari metode terbaik dari kondisi yang ada sekarang,” ujarnya.
Ia memastikan metode KSA yang digunakan untuk menghitung produksi beras telah diuji kelayakannya dengan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Survey ini melibatkan 6.223 petugas untuk mencacah 229.437 titik amatan yang tersebar di seluruh Indonesia setiap akhir bulan.
“Prosesnya dawali dengan melakukan survey pengukuran, di mana petugas datang langsung ke sawah memotret masa periode dari pertumbuhan padi. Apakah masa vegetative awal atau akhir yang menentukan kapan panen,” ungkapnya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meyakini, data BPS adalah data yang akurat dan dijadikan acuan sepenuhnya oleh Kementan. “Data BPS adalah data yang akurat, kami pedomani secara utuh, saya pastikan faktualisasi data itu sangat clear. Bahwa ada distorsi harga dan kondisi dinamis ini momentum. Kondisi sesaat yang membutuhkan kerja yang sangat kuat diantara pemerintah,” ujarnya.
Terkait sinkronisasi data ini, Anggota Komisi IV DPR RI Dwita Ria Gunadi dari Fraksi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) meminta NFA, Kementan, dan BPS menyiapkan satu data neraca beras nasional terintegrasi, memuat data produksi, data konsumsi, stok tahunan, perkiraan panen, dan luas areal tanam untuk 11 komoditas potensial yang ada.
Agar penyusunan tersebut menghasilkan data yang akurat, ia meminta agar menghilangkan kepentingan sektoral yang menjadi penghambat koordinasi lintas kementerian, dan fokus membenahi masalah krusial apalagi beras ini sangat rentan memicu kenaikan harga dan gejolak ekonomi.
Selanjutnya Komisi IV DPR RI dalam keputusannya meminta Menteri Pertanian, Kepala NFA, Kepala BPS, dan Direktur Utama Perum Bulog untuk berkoordinasi dan melakukan penyelarasan serta validasi data kebutuhan, konsumsi, ketersediaan beras, serta komoditas pangan pokok Iainnya dengan fakta di lapangan.
Menurut Arief, untuk melakukan validasi di lapangan tersebut pada Desember ini akan dilakukan survey oleh NFA, BPS, Kementan dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengetahui kondisi lapangan mengenai jumlah stok beras yang ada di Indonesia. “Hal ini juga untuk memastikan persiapan pendataan 2023, sehingga diharapkan ada perbaikan kebijakan pangan khususnya beras di tahun selanjutnya,” jelasnya.