REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Angka kematian ibu (AKI) di Jawa Barat masih memprihatinkan. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dr Nina Susana Dewi, dari seribu perempuan yang melahirkan, sebanyak 147 di antaranya meninggal dunia.
Nina mengatakan, penyebab kematian ibu terbanyak yaitu lambatnya didiagnosa, lambat dirujuk atau ditindak serta pendarahan pada saat melahirkan. Kata dia, salah satu upaya untuk menekan AKI, melalui Program Keluarga Berencana Pasca Persalinan (KBPP). AKI di Jabar, masih jauh di atas rata-rata nasional.
"Kalau targetnya sekitar 80-84 persen dari 1.000 kelahiran hidup. Tapi, di Jawa barat masih 140-an. Masih tinggi jauh dari nasional," ujar Nina di acara Kemitraan keberlanjutan untuk Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan KBPP dalam akselerasi penurunan AKI-AKB dan stunting di Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (7/12).
Nina menjelaskan, pihaknya menargetkan, AKI turun sampai 87 kasus saja. KBPP, menjadi salah satu cara terbaik dalam menurunkan kematian ibu. Karenanya, program KBPP yang selama ini dijalankan bersama Jhpiego, organisasi kesehatan nonprofit internasional yang berafiliasi dengan The John Hopkins University, berpotensi untuk terus dilanjutkan.
Menurutnya, program KBPP dalam rangka memberikan kontribusi penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan mengetengahkan proses pembelajaran-praktik dengan intervensi di Kota Bandung, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bogor.
"Kalau itu (KBPP) bagus, kita akan ambil contoh. Yang di Karawang akan kami jadikan contoh, kami saring apa yang menjadi rahasianya untuk disebar ke kabupaten dan kota lain," katanya.
Nina mengatakan, pihaknya sangat mendukung proyek ini. Karena efeknya sangat luar biasa bagi penurunan angka kematian ibu dan juga stunting di tiga kabupaten kota tersebut. Dengan adanya kegiatan ini, pada 2021-2022 bisa menurunkan angka kematian ibu.
Menurut Direktur Reproduksi Health and Family Planning Jhpiego, dr Siti Nurul Istiqomah, pihaknya telah mengintervensi penurunan AKI di tiga kota kabupaten di Jabar selama dua tahun ini. Pada kesempatan tersebut, pihaknya melakukan penutupan kerja sama Jhpiego dengan pemerintah Indonesia, terutama Jawa Barat dalam memperkuat KBPP. Di antaranya penggunaan alat kontrasepsi pasca persalinan.
"Kami berharap ibu-ibu sebelum pulang dari fasilitas kesehatan sudah memanfaatkan KB," katanya.
Jadi, kata dia, yang dilakukan pihaknya adalah dengan melakukan pelatihan kepada petugas kesehatan. Agar, mereka melakukan pelayanan, mendorong peningkatan mutu kerja sama dengan dinas kesehatan untuk memastikan mereka melakukan supervisi.
Menurut Siti, angka penggunaan KB pasca persalinan yang ditargetkan pemerintah Indonesia 70 persen. Lalu, setelah 42 hari ibu yang melahirkan sudah ber KB. Saat ini, angka cakupan nasional penggunana KB pasca-persalinan ini hanya 30 persen.
"Jadi belum mencapai angka kita inginkan. Kita kerjasama untuk meningkatkan angka tersebut di Kabupaten Karawang, Kota Bandung, Kabupaten Bogor. Kita memilih penduduknya banyak, memikirkan daya ungkitnya," katanya.
Selanjutnya, kata dia, program kerja sama tersebut selesai. Siti berharap, pemerintah daerah melanjutkan replikasi ke daerah-daerah lain.
Andriani Siaahan, PPFP Specialist Jhpiego menuturkan, sejak tahun 2015 hingga 2019 Jhpiego melalui program “Pilihanku”, berupaya mendukung pemerintah Indonesia dalam meningkatkan cakupan pelayanan keluarga berencana terutama Keluarga Berencana Pasca Persalinan atau KBPP.
Program “Pilihanku” telah berhasil meningkatkan cakupan konseling KBPP (KB Pasca Persalinan) dari 3,2 persen tahun 2015 menjadi 79,5 persen di tahun 2019 dan meningkatkan cakupan pengguna KBPP dari 9,1 persen tahun 2015 menjadi 42,5 persen di tahun 2019.