REPUBLIKA.CO.ID, CANBERA -- Pemerintah Australia belum sepenuhnya ikhlas atas pembebasan bersyarat narapidana terorisme bom Bali Hisyam bin Alizein alias Umar Patek. Wakil Perdana Menteri Australia Richard Marles mengatakan, ini adalah hari-hari yang sulit bagi mereka yang kehilangan kerabat atau keluarganya dalam bom Bali. Serangan bom Bali pada 2002 menewaskan 202 orang, 88 di antaranya merupakan warga Australia.
Menurut Marles, Pemerintah Australia telah melakukan advokasi penolakan terhadap pembebasan lebih awal Patek. "Kami akan meminta pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa ia (Patek) berada dalam pengawasan ketat selama pembebasan bersyarat," ujarnya seperti dikutip laman ABC, Kamis (8/12/2022).
Menteri Dalam Negeri Clare O'Neil mengatakan, ini adalah hari yang menyedihkan buat para korban dan keluarga mereka. "Ini adalah orang yang berada di bawah sistem peradilan Indonesia. Pandangan pribadi saya tindakannya tidak dapat dimaafkan dan benar-benar mengerikan," jelasnya. "Kami tidak mengontrol sistem peradilan Indonesia."
Narapidana kasus terorisme Hisyam bin Alizein alias Umar Patek dikeluarkan dari Lapas Kelas I Surabaya melalui Program Pembebasan Bersyarat setelah menyatakan diri setia pada NKRI dan tak radikal lagi (deradikalisasi). Kalapas Kelas I Surabaya, Jalu Yuswa Panjang membenarkan program pembebasan Umar Patek tersebut. Ia mengungkapkan, yang bersangkutan dibebaskan pada Rabu (7/12). "Benar sudah bebas," ujar Jalu dikonfirmasi Kamis (8/12).
Ia menjelaskan, pembebasan bersyarat terhadap Umar Patek juga telah direkomendasikan Badan Nasional Penangulangan Teroris (BNPT) dan Detasemen Khusus 88 (Densus 88). Bahkan kedua lembaga tersebut yang menyerahkan Umar Patek kepada keluarganya.
Atas pembebasan bersyarat tersebut, Umar Patek pum sudah beralih status dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan Bapas Surabaya dan wajib mengikuti program pembimbingan sampai dengan 29 April 2030. Apabila sampai dengan masa itu terjadi pelanggaran, maka hak pembebasan bersyaratnya akan dicabut