REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Anti Korupsi Sedunia diperingati setiap 9 Desember. Sayangnya, pada peringatan Hakordia 2022, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM melihat, upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air belum membaik.
Peneliti Pukat UGM, Yuris Rezha Kurniawan mengatakan, Harkodia seharusnya menjadi momentum untuk refleksi pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, kenyataannya secara global Indonesia masih sangat jauh tertinggal soal pemberantasan korupsi.
"Dalam Hakordia ini belum bisa kita rayakan dengan prestasi-prestasi membanggakan," kata Yuris, Jumat (9/12/2022).
Ia mengingatkan, negara-negara maju sudah mulai masuk ranah pencegahan korupsi di sektor swasta dan memperbaiki integritas dunia usaha. Indonesia justru masih berkutat menghadapi korupsi akut menyangkut pejabat publik dan penegak hukum.
Apalagi, jika melihat dari indikator Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International. Bahkan, di tingkat ASEAN saja pemberantasan korupsi Indonesia masih jauh tertinggal dari Singapura serta di bawah Timor Leste dan Malaysia.
"Kondisi ini harusnya menjadi alasan kuat bagi seluruh elemen bangsa ini untuk memprioritaskan sektor pemberantasan korupsi," ujar Yuris.
Yuris menekankan, dari refleksi beberapa tahun ke belakang masih pula menunjukan politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia sangat lemah. Revisi UU KPK dan munculnya peraturan yang justru memberi angin segar pelaku korupsi.
Kemudian, kebijakan antikorupsi yang banyak digaungkan gagal menyentuh sisi fundamental dari reformasi birokrasi dan reformasi kelembagaan. Di sisi lain, ada gagasan yang dapat mendukung pemberantasan korupsi. Seperti RUU Perampasan Aset dan memperbaiki UU Tipikor agar sejalan dengan konvensi internasional antikorupsi (UNCAC). Namun, ia menegaskan, semuanya masih tidak kunjung serius dibahas pihak-pihak terkait baik pemerintah maupun DPR.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah terkait kiprah KPK. Selama puluhan tahun, Yuris menilai, KPK memiliki peranan penting sebagai role model kelembagaan yang memegang teguh prinsip integritas. Sayangnya, peran itu menurun beberapa waktu terakhir.
Beberapa kasus etik dan pelanggaran hukum yang menyangkut pimpinan KPK sampai kepada tata kelola penegakan hukum yang serampangan terasa semakin menjauhkan KPK dari tujuan awalnya. Termasuk, sebagai lembaga yang selama ini jadi teladan lembaga publik lain.
Menurut Yuris, berbagai kondisi tersebut akhirnya menjadi tembok besar yang menghalangi langkah pemberantasan korupsi. Apalagi, jika seluruh elemen bangsa Indonesia, khususnya pemerintah, tidak segera meruntuhkan tembok penghalang.
"Bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin jauh tertinggal dalam pemberantasan korupsi," kata Yuris.