Senin 12 Dec 2022 11:38 WIB

Saudi: Timur Tengah Jadi Ruang Berbahaya Jika Iran Punya Senjata Nuklir

Kawasan Timur Tengah akan masu ke fase berbahaya jika kesepakatan nuklir tak tercapai

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al-Saud, berbicara kepada media dengan Menteri Luar Negeri Serbia, Nikola Selakovic (tidak ada dalam foto), setelah pertemuan mereka di Beograd, Serbia, 05 Oktober 2022.
Foto: EPA-EFE/ANDREJ CUKIC
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al-Saud, berbicara kepada media dengan Menteri Luar Negeri Serbia, Nikola Selakovic (tidak ada dalam foto), setelah pertemuan mereka di Beograd, Serbia, 05 Oktober 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pemerintah Arab Saudi kembali menyampaikan kekhawatiran atas program nuklir Iran. Riyadh menilai, kawasan Timur Tengah akan memasuki fase sangat berbahaya jika kesepakatan nuklir dengan Iran tidak tercapai.

“Jika Iran mendapatkan senjata nuklir operasional, semua taruhan dibatalkan,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan di sebuah acara di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), dilaporkan laman Al Arabiya.

Baca Juga

Dia mengungkapkan, jika Iran memperoleh senjata nuklir, konsekuensi logis dari hal itu adalah negara-negara tetangganya di kawasan akan meningkatkan kapasitas keamanan mereka. “Kami berada di ruang yang sangat berbahaya di kawasan ini dan Anda dapat berharap bahwa negara-negara kawasan pasti akan melihat ke arah bagaimana mereka dapat memastikan keamanan mereka sendiri,” ucap Pangeran Faisal.

Menurutnya, saat ini negara-negara tetangga Iran membutuhkan lebih banyak jaminan yang dapat memastikan bahwa Teheran memang tidak berusaha atau bertujuan mengembangkan dan memperoleh senjata nuklir. “Meskipun kami mendukung perjanjian nuklir dengan Iran, mencapainya tidak berarti bahwa ada jaminan bahwa Teheran tidak akan memproduksi senjata nuklir,” ucapnya.

Saat ini upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 atau dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) belum menemui titik terang. JCPOA berada di ujung tanduk setelah mantan presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan tersebut. Alasannya karena JCPOA tak mengatur tentang program rudal balistik Iran dan perannya di kawasan.

Washington pun memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Setelah dikenai sanksi lagi, Iran mulai mengabaikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam JCPOA, termasuk soal pengayaan uranium.

Bulan lalu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa Iran telah melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen. IAEA pun menyebut, Teheran sedang merencanakan perluasan besar-besaran kapasitas pengayaannya.

Iran telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya dengan kemurnian 60 persen di pembangkit nuklir bawah tanah Fordo. Kabar tersebut telah dikonfirmasi kantor berita pemerintah Iran, ISNA. Fasilitas Fordo dibuka kembali pada 2019 setelah JCPOA gagal diperbarui.  

Iran sebelumnya sudah melakukan pengayaan uranium dengan kemurnian hingga 60 persen di fasilitas nuklir Natanz di Iran tengah. Sementara fasilitas Fordo hanya berjarak 100 kilometer dari ibu kota Teheran. 

Pengayaan uranium hingga kemurnian 60 persen merupakan langkah teknis singkat dari tingkat senjata, yakni sebesar 90 persen. Sejumlah pakar nonproliferasi telah memperingatkan dalam beberapa bulan terakhir bahwa Iran memiliki cukup uranium yang diperkaya 60 persen untuk diproses ulang menjadi bahan bakar untuk setidaknya satu bom nuklir. Iran telah berulang kali membantah anggapan bahwa mereka memiliki ambisi untuk membuat bom atau senjata nuklir. 

Saat ini AS di bawah kepemimpinan Joe Biden berusaha menghidupkan kembali JCPOA. Namun proses negosiasi masih berlangsung alot dan belum menemui pintu kesepakatan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement