Deteksi Dini Konflik Sosial di Yogyakarta, FKDM Dioptimalkan
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Balai Kota Yogyakarta. | Foto: Yusuf Assidiq.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Potensi terjadinya konflik sosial di Kota Yogyakarta cukup tinggi. Hal ini mengingat warga yang berdomisili di Kota Pelajar berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan budaya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta pun mengoptimalkan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) untuk mendeteksi dini konflik sosial di masyarakat. FKDM sudah dibentuk di masing-masing kelurahan untuk mencegah terjadinya konflik sosial.
"Kita memiliki 300 anggota FKDM di seluruh kelurahan di Kota Yogyakarta untuk menyusun peta potensi konflik," kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta, Budi Santosa.
Budi menjelaskan, FKDM merupakan tim kerja yang dibentuk untuk mendeteksi dini konflik sosial yang akan terjadi. Deteksi dini dilakukan melalui pengawasan, pembinaan dan pendekatan kepada masyarakat.
"Harapannya (dengan FKDM), Kota Yogyakarta tetap nyaman huni, aman, dan sejahtera," ujar Budi. Tidak hanya FKDM, Pemkot Yogyakarta juga mengoptimalkan peran dari Forum Pembauran Kebangsaan (FPK).
FPK membantu dalam penanganan dan pencegahan konflik sosial di Kota Yogyakarta. Sementara itu, Penjabat (Pj) Wali Kota Yogyakarta, Sumadi mengatakan, pihaknya terus mengupayakan pencegahan konflik sosial.
Diharapkan, dengan berbagai upaya yang dilakukan termasuk pembentukan tim kerja, dapat menciptakan kondisi yang dinamis dan aman di masyarakat. Pasalnya, Kota Yogyakarta sendiri merupakan salah satu kota tujuan bermigrasi, yang mana tidak terlepas dari keberagaman budaya.
Tentunya, kemungkinan konflik akan terjadi jika kurangnya pencegahan dan penanganan konflik di Kota Yogyakarta. Sumadi menyebut, di Kota Yogyakarta saat ini memiliki 110 asrama yang dihuni oleh mahasiswa dari Sabang sampai Merauke.
Ia berharap, adanya berbagai suku dan budaya yang berbeda-beda ini, tetap menjadikan Kota Yogyakarta sebagai kota yang nyaman huni.
"Tentunya dibutuhkan kerja sama antara kemantren dan kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, serta masyarakat mengetahui secara mendalam permasalahaan yang terjadi, beserta penyelesaiannya," katanya.