REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Seorang pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Indramayu dikabarkan mengalami koma selama tiga bulan terakhir di rumah sakit di Jepang. PMI bernama Darmadi (48) asal Desa Juntiweden, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu itu dirawat di Rumah Sakit Ohara, di daerah Kobe Osaka, Jepang.
Kondisi yang dialami Darmadi itu diketahui berdasarkan pelaporan pihak keluarga kepada Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Indramayu.
Ketua SBMI Indramayu, Akhmad Zaenuri, menjelaskan, Darmadi dikabarkan tiba-tiba pingsan saat sedang bekerja. Karenanya, Darmadi langsung dilarikan ke rumah sakit setempat.
"Sejak saat itu sampai sekarang, (Darmadi) belum sadarkan diri, koma. Sudah tiga bulan lebih," ujar Zaenuri, saat ditemui di Sekretariat SBMI Indramayu di Kecamatan Jatibarang, Senin (12/12).
Zaenuri menjelaskan, untuk bertahan hidup, Darmadi sangat bergantung pada ventilator yang terpasang di tubuhnya. Dari keterangan medis, PMI tersebut mengalami stroke.
Zaenuri menjelaskan, berdasarkan keterangan keluarga, Darmadi berangkat ke Jepang sejak Oktober 2018. Saat itu, Darmadi berangkat dengan inisiatif sendiri tanpa melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
"Yang bersangkutan berangkat ke Jepang menggunakan visa wisata," ujar Zaenuri.
Di Jepang, Darmadi tinggal di rumah kontrakan bersama sejumlah TKI lainnya. Dia diketahui bekerja serabutan. "Kadang kerja di bangunan, di perkebunan dan lainnya, kerja serabutan," tutur Zaenuri.
Zaenuri menegaskan, meski berangkat secara unprocedural, namun Darmadi tetap harus mendapat perlindungan. Hal itu sesuai dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI dan UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Sebagai WNI (warga negara Indonesia), yang bersangkutan juga berhak mendapat perlindungan," tegas Zaenuri.
Zaenuri mengatakan, selama tiga bulan lebih di rumah sakit, biaya perawatan Darmadi ditanggung oleh Pemerintah Jepang. Dia menyebutkan, biaya perawatan di rumah sakit itu mencapai sekitar Rp 200 juta per bulan.
"Mungkin karena anggaran dari Pemerintah Jepang juga terbatas, jadi untuk langkah selanjutnya nanti akan ada zoom meeting untuk berkoordinasi dengan pihak keluarga dan pemerintah Indonesia," kata Zaenuri.
Pihak Pemerintah Jepang akan melakukan komunikasi dengan pihak keluarga, untuk memutuskan apakah Darmadi akan dibawa pulang ke tanah air atau tidak. Jikapun nanti terpaksa harus dipulangkan, SBMI berharap agar Pemerintah Indonesia bisa memfasilitasi perawatan PMI tersebut di tanah air.
"Kami berharap pemerintah agar membantu korban saat sampai di Tanah Air," tandas Zaenuri.