Rabu 14 Dec 2022 05:42 WIB

Dhio Daffa, Potret Anak Durhaka, dan Jeritan Hati Generasi Sandwich

Dhio Daffa mencoreng perjuangan generasi Sandwich yang sesungguhnya

Generasi sandwich (ilustrasi)
Foto: dok Bibit
Generasi sandwich (ilustrasi)

Oleh : Qommarria Rostanti, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Nama Dhio Daffa menjadi bulan-bulanan warganet di jagad dunia maya. Pemuda berusia 22 tahun asal Magelang, Jawa Tengah, ini tega membunuh ayahnya (Abas Ashar-58 tahun), ibunya (Heri Riyani-54 tahun), dan kakak perempuannya (Dhea Chairunnisa-25 tahun) pada Senin (28/12).

Dhio meracuni ketiga korban dengan menggunakan sianida yang dituang ke kopi dan teh. Dhio membeli racun tersebut secara daring dengan harga Rp 450 ribu untuk arsenik dan Rp 750 ribu untuk sianida. Ironisnya, semua racun tersebut dibeli dengan menggunakan uang orang tua Dhio.

Sebenarnya, Dhio terlebih dulu menggunakan arsenik untuk membunuh ayah, ibu, dan kakaknya pada Rabu (23/11). Zat tersebut dia tuang ke dalam es dawet yang kemudian diminum oleh ketiga korban. Namun karena dosisnya terlalu kecil, ketiganya hanya merasakan sedikit mual.

Dhio kembali melakukan aksi serupa. Kali ini menggunakan sianida yang dituang ke kopi dan teh. Sianida yang dipakai untuk ayahnya sebanyak 1,5 sendok teh; ibu satu sendok teh; dan kakak 1,25 sendok teh. Berselang sekitar 15 hingga 30 menit setelah meminumnya, para korban merasakan mual dan muntah hebat, hingga akhirnya meninggal dunia.

Dhio beralasan, motifnya membunuh karena lelah dan sakit hati lantaran terus-menerus menjadi tulang punggung keluarga. Dhio mengaku tak sanggup harus selalu menanggung beban ekonomi ayah, ibu, dan kakaknya alias menjadi generasi sandwich. Apalagi sang ayah baru memasuki masa pensiun dan mulai sakit-sakitan.

Dia juga menuduh orang tuanya pilih kasih. Dhio mengeklaim orang tuanya lebih menyayangi sang kakak. Dhio selalu merasa dianaktirikan sejak SMA. Akibat penyakit hati itulah, muncul rencana jahat Dhio, tepatnya pad 15 November 2022.

Namun, pernyataan itu dibantah oleh kakak kandung dari Riyani (ibu pelaku) yang mengatakan bahwa justru Dhio-lah yang menjadi “beban”. Si pelaku tidak bekerja dan kerap menghabiskan uang orang tua. Uang yang diminta Dhio kepada orang tuanya dari puluhan hingga ratusan juta rupiah digunakan untuk foya-foya.

Sukoco (kakak dari ibu korban) mengatakan, meski Dhio memiliki karakter kurang baik, orang tuanya tetap menyayanginya. Mereka selalu memberikan dukungan penuh kepada Dhio.

Orang tua Dhio dianggap sangat menyayangi bahkan amat memanjakan si bungsu tersebut. Terbukti, apapun yang Dhio minta selalu diberikan. Namun Dhio gelap mata. Tanpa pikir panjang, dia tak segan menjadi anak durhaka. Dia tega menghabisi nyawa ibu yang telah melahirkannya, ayah yang telah mencukupi segala kebutuhannya, dan kakak yang selalu menyayanginya.

Plt Kapolresta Magelang AKBP Mochammad Sajarod Zakun mengungkapkan, Dhio menggelapkan uang orang tuanya sebesar Rp 400 juta. Semula, Dhio meminta uang itu untuk berinvestasi. Namun, malah digunakan untuk keperluan pribadinya, salah satunya untuk bersenang-senang. Sejauh ini, polisi masih belum menemukan motif lain pembunuhan tersebut selain karena sakit hati.

Klaim Dhio yang lelah menjadi generasi sandwich hingga akhirnya membunuh, mencoreng perjuangan generasi sandwich yang sesungguhnya. Sebab, selelah apapun generasi sandwich mencari nafkah, mereka tidak akan tega membunuh orang tuanya. Terpikir sepersekian detik pun tidak.

Dhio jelas bukan bagian dari generasi sandwich. Dia tak pernah merasakan beban, terhimpit di tengah-tengah antara kebutuhan diri, anak, dan orang tua. Masih banyak orang yang meski “terpaksa” menjadi generasi sandwich, namun mereka tetap berbakti kepada orang tuanya.

Istilah generasi sandwich merujuk pada generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi yakni orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya. Generasi sandwich pertama kali diidentifikasi pada awal 1980-an seorang profesor sekaligus Direktur Praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A Miller. Generasi sandwich dianggap sebagai populasi yang kurang terlayani, menghadapi tantangan unik, serta tekanan yang cukup besar.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang yang termasuk generasi sandwich di Indonesia kian meningkat selama lima tahun terakhir. Rasio ketergantungan lansia (usia 60 tahun ke atas) terus meningkat dari 14,02 persen pada 2017 menjadi 16,76 persen pada 2021.

Penyebab munculnya generasi sandwich tak lain karena kurang matangnya kondisi finansial, utamanya ketika menyiapkan dana pensiun. Apabila seseorang kehabisan dana ketika usia pensiun, maka tanggungan kehidupannya akan diberikan kepada anak.

Beratnya tanggung jawab yang dihadapi generasi sandwich kerap menjadi polemik, antara rasa bangga bisa membantu keuangan keluarga, tetapi juga terhimpit banyaknya tanggungan yang harus dicukupi.

Dampak positif dari generasi sandwich di antaranya lebih banyak waktu dengan anggota keluarga hingga ikatan antargenerasi yang lebih kuat. Namun secara bersamaan, generasi ini akan merasakan lebih banyak tanggung jawab, beban keuangan yang lebih besar, dan terkadang stres.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara agar kita bisa menjadi generasi sandwich terakhir? Bagaimana supaya tidak menjadi “beban” anak-anak kita kelak?

Adalah hal wajar untuk berbakti kepada orang tua, memberikan yang terbaik untuk anak-anak, dan juga mencapai standar hidup tertentu untuk diri kita sendiri, bahkan ketika sudah pensiun.  Banyak yang mempertanyakan apakah mungkin untuk mencapai ketiganya sekaligus mengingat hari dan usia kita saat ini?

Sekeras apa pun kenyataannya, tidak semua harapan hilang.  Nyatanya, ada cara untuk memastikan bahwa kita akan menjadi generasi sandwich terakhir.

Pertama, bicara tentang keuangan. Membahas masalah uang bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Tetapi, hal ini bisa sangat membantu bagi keluarga yang melewati tantangan tersebut.  Bagian dari tekanan menjadi generasi sandwich adalah tidak mengomunikasikan perjuangan finansial yang sepenuhnya ada di pundak kita. Terbuka tentang hal itu dapat mengangkat beban yang sangat besar di dada Anda.

Komunikasi terbuka ini bisa membantu Anda menetapkan batasan terkait apa yang dapat kita tawarkan atau tidak kepada mereka. Cara ini diyakini mampu membantu mengelola ekspektasi mereka. 

Kedua, menabung untuk masa pensiun. Menabung untuk rencana masa pensiun harus menjadi prioritas utama kita. Utamanya, jika kita merawat dua generasi berbeda sekaligus. Meskipun sekilas tampak “egois” untuk memprioritaskan tabungan pensiun di atas perawatan jangka panjang orang tua kita, namun hal itu dapat menyelamatkan kita dari masalah keuangan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Pada gilirannya, hal tersebut bisa mengamankan masa depan anak-anak tanpa membuat mereka terjebak secara finansial seiring bertambahnya usia.  Meskipun penting untuk melindungi masa depan orang-orang terkasih, mengenali kebutuhan sendiri untuk berhasil juga penting.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement