Rabu 14 Dec 2022 17:41 WIB

Campur Tangan Barat di Konflik Timur Tengah, Balas Dendam Perang Salib?  

Sejumlah pakar sebut adanya unsur dendam Perang Salib dalam konflik Timur Tengah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
 Ilustrasi Kota Homs, Suriah. Sejumlah pakar sebut adanya unsur dendam Perang Salib dalam konflik Timur Tengah
Ilustrasi Kota Homs, Suriah. Sejumlah pakar sebut adanya unsur dendam Perang Salib dalam konflik Timur Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Banyak analis dan pakar Timur Tengah menyebut adanya keterlibatan sejumlah negara Barat dalam konflik di Timur Tengah. Sejauhmanakah keterlibatan tersebut dan apakah ada kaitannya dengan 'dendam sejarah'?

Kekalahan Barat dalam Perang Salib menyisakan trauma mendalam. Sampai berabad-abad kemudian, pelbagai peristiwa di Barat dalam hubungannya dengan dunia Islam masih sering dikaitkan dengan motif Perang Salib. 

Baca Juga

 

Ketika George W Bush mendeklarasikan perang melawan terorisme pada awal 2000-an, ia menggunakan istilah Perang Salib (Holy War). Perang melawan terorisme dianggap sebagai kelanjutan dari Perang Salib. 

 

Perang Salib diserukan Paus Urbanus II pada 1095 M untuk menaklukkan Yerusalem dari kaum Muslim. Edward Gibbon dalam History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengatakan, seruan perang suci itu telah menyentuh syaraf perasaan yang sangat halus dari masyarakat Eropa. 

 

Lembaga keagamaan masih menduduki posisi sentral di tengah masyarakat. Dipimpin para pendeta dan bangsawan, pasukan Salib berangkat melewati Konstantinopel menuju ke Yerussalem. 

 

Perang Salib bukan gerakan kecil atau peristiwa yang mudah dilupakan. Perang Salib sangat berpengaruh dalam proses pembentukan identitas bagi masyarakat Barat dan Muslim.

Perang Salib meninggalkan prasangka dan kecurigaan Eropa terhadap dunia Islam. Sebaliknya, perang ini juga meninggalkan luka sejarah yang tidak mudah pupus bagi umat Islam dalam pandangannya terhadap Barat.  

 

Campur tangan Barat di belantara konflik Timur Tengah disinyalir masih membawa motif Perang Salib. 

 

Professor James Turner Johnson dari Rutgers University menyoroti keterlibatan Barat dalam konflik Timur Tengah tidak sekadar untuk mempertahankan hegemoni imperialisme, tetapi juga mengalahkan gerakan jihad. 

 

Seperti dipahami, jihad yang oleh Barat diidentikkan sebagai gerakan terorisme, menyimpan konflik peradaban. 

 

Karen Armstrong dalam Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk menambahkan, peristiwa 11 September merupakan era baru Perang Suci di zaman modern. 

 

Dalih memerangi ekstremisme dijadikan pembenaran oleh Amerika Serikat untuk melakukan invasi ke negara-negara Muslim, seperti Perang Teluk dan Invasi Irak 2003. 

 

Jika dirunut ke abad pertengahan, kata Armstrong, invasi Amerika terhadap negara-negara Muslim ini tak ubahnya sebuah Perang Salib era modern. 

 

Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat

Sebelum kedatangan tentara Salib, tutur Armstrong, umat tiga agama hidup dengan harmonis selama 460 tahun di kota suci Yerusalem. Tentara Salib tiba di kota ini pada Juli 1099, kemudian melakukan pembantaian puluhan ribu umat Muslim dan Yahudi. 

 

Peristiwa itu mengubah lanskap hubungan ketiga agama besar ini secara signifikan. Upaya rekonsiliasi, seperti yang terjadi masa Shalahuddin al-Ayyubi, masih tetap menyisakan kewaspadaan antarpemeluk agama. 

 

Armstrong melanjutkan, konflik Amerika dengan negara-negara Timur Tengah sekarang ini adalah kelanjutan Perang Salib di Abad Pertengahan, sedangkan pendudukan Israel atas Muslim adalah kelanjutan perang suci antara Yahudi dan Islam. 

 

Motifnya tidak lagi sebatas agama, tetapi semakin kompleks dengan berbagai kepentingan politis, ideologis, dan penguasaan sumber daya alam.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement