REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pengesahan KUHP, kata dia, bukan untuk kepentingan pemerintah.
“Sebagai produk hukum, KUHP mendekonstruksi paradigma hukum pidana menuju keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. Oleh karenanya, KUHP merupakan manifestasi dari reformasi hukum yang selama ini diarahkan Bapak Presiden, terutama dalam hal penataan regulasi hukum pidana,” kata Moeldoko dalam rapat koordinasi antar K/L terkait KUHP, dikutip dari siaran pers KSP, Rabu (14/12).
Menurut Moeldoko, meskipun memiliki tujuan dan dampak yang mulia, KUHP saat ini menjadi target mispersepsi bahkan hoax baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini dikarenakan belum adanya pemahaman yang jelas di masyarakat.
Karena itu, selama tiga tahun masa transisi, pemerintah akan terus memberikan edukasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk mencegah munculnya hoaks di ruang publik dan mispersepsi terhadap pasal-pasal KUHP.
Selain itu, pemerintah juga akan terus berupaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap jalannya demokrasi di Indonesia. Salah satunya yakni dengan tidak menjadi anti-kritik.
“Masih akan banyak yang mengkritik, itu tidak apa-apa. Kita punya waktu 3 tahun untuk berdiskusi nanti. Soal substansinya, jika masih ada yang kurang, silahkan diperdebatkan,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang hadir secara daring.
Rapat koordinasi ini juga dihadiri Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward O.S Hiariej, dan beberapa perwakilan K/L lainnya.
KSP menyebut pengesahan KUHP pada 6 Desember 2022 lalu merupakan upaya panjang pembaharuan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang dibahas di DPR selama 59 tahun. Karena itu, KUHP menjadi penting untuk diperbarui agar relevan dengan perkembangan hukum pidana dan kondisi masyarakat Indonesia.