REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pencari Fakta (TPF) Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI) mengungkap delapan temuan krusial pada kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Ketua TPF Mufti Mubarok saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (14/12/2022), mengungkap temuan pertama ialah adanya ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antarinstansi di sektor kesehatan dan kefarmasian dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA.
Kedua, adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk jadi obat. "Post-market, pre-market, dan sebagainya menjadi perdebatan luar biasa terkait juga dengan suplai dari hulu terkait bahan baku EG dan DEG. Akhirnya kami menyimpulkan adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian," ujar Mufti.
Ketiga, Mufti menyebut, TPF menemukan ketidaktransparan terkait penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi. Keempat, tidak adanya protokol khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA.
"Ini tampak bahwa protokoler di daerah di sektor tenaga kesehatan dan seterusnya sampai Kemenkes dan BPOM ini masih tumpang tindih," katanya.
Kelima, belum ada kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah. Keenam, belum ada pemberian ganti rugi kepada korban GGAPA dari pihak industri farmasi.
Ketujuh, bahan kimia EG dan DEG merupakan bahan yang termasuk dalam kategori berbahaya bagi kesehatan dan memerlukan pengaturan khusus. Kedelapan, belum dilibatkannya instansi atau otoritas lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan dan kefarmasian.
"Saya kira karena korbannya adalah konsumen, maka keterlibatan kita semua ada BPKN, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dokter, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, tentu menjadi hal penting ketika menangani kasus ini," ujar Mufti.
Selain itu, Mufti mengatakan temuan TPF juga menunjukkan bahwa sebagian besar korban GGAPA tidak memiliki komorbid. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, 74 persen dari 324 korban adalah balita dan hampir semuanya berasal dari keluarga kalangan menengah ke bawah.
Dari temuan tersebut, TPF pun memberikan empat rekomendasi, yaitu pemerintah dan industri farmasi perlu memberikan santuan atau kompensasi serta ganti rugi baik kepada keluarga korban GGAPA yang telah meninggal dunia, korban yang masih dirawat, dan korban yang masih harus melakukan pengobatan rawat jalan.