REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terkadang seorang muslim tak menyadari dirinya telah berbuat dzalim pada orang terdekat. Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi'i Jember, Ustaz Abdullah Zaen Lc.,MA mengungkapkan, semakin dekatnya sebuah hubungan, maka semakin besar pula kewajiban yang harus ditunaikan, baik itu, ayah-ibu, suami-istri, putra-putri dan kakak-adik, memiliki hak yang lebih besar dibandingkan orang lain yang tidak memiliki hubungan darah.
"Namun sayangnya, justru merekalah yang kerap menjadi korban perilaku tidak terpuji kita. Entah karena kita tidak maksimal dalam menunaikan hak-hak mereka. Atau bahkan yang lebih parah dari itu, ternyata tanpa sadar kita menzalimi mereka. Padahal akibat perbuatan zalim itu sangat mengerikan. Bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat," kata Ustadz Abdullah dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.
Ustadz Abdullah menjelaskan, Ibunda Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita,
“Suatu saat ada seorang pria duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku memiliki banyak budak. Namun mereka kerap berbohong kepadaku, mengkhianatiku dan tidak menaatiku. Maka akupun memaki dan memukuli mereka. Kira-kira kelak seperti apa pertanggungjawabanku di hadapan Allah?”.
Beliau menjawab, “Di akhirat kelak, porsi kedustaan, pengkhianatan dan ketidaktaatan mereka akan ditimbang, begitupula porsi hukumanmu. Jika ternyata hukumanmu 'sepadan' dengan kesalahan mereka, maka tidak masalah; engkau tidak mendapat pahala, tapi juga tidak berdosa. Apabila kadar hukumanmu 'lebih ringan' dibanding kesalahan mereka, maka engkau berpotensi mendapatkan pahala. Namun jika kadar hukumanmu 'lebih berat' dibanding kesalahan mereka, maka sebagian pahalamu akan dicabut lalu diberikan kepada mereka”.
Maka pria itupun menyingkir sambil menangis keras. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah engkau membaca ayat Alquran yang berbunyi:
"وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا، وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا، وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ"
Artinya: “Pada hari kiamat kelak, Kami akan melakukan penimbangan amal manusia secara adil. Tidak akan ada yang dizalimi sedikitpun, walau hanya sebesar biji sawi. Semua (kebaikan atau keburukan) akan didatangkan dan diberi balasan. Cukuplah Kami yang menghitung amal manusia”.QS. Al-Anbiya’ ayat 47.
Pria itupun berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, menurutku solusi terbaik untukku dan untuk mereka adalah kami berpisah. Engkau menjadi saksinya, bahwa mereka semua aku bebaskan!”. HR. Tirmidziy (no. 3165) dan isnadnya dinilai sahih oleh al-Albaniy.
"Hadits di atas menjelaskan betapa berat pertanggungjawaban perbuatan zalim kepada sesama. Jika perilaku terhadap budak yang sejatinya boleh diperjualbelikan saja detilnya sedemikan rupa, apalagi pertanggungjawaban perilaku kepada ayah-ibu, suami-istri, putra-putri dan kakak-adik kita?," papar Ustadz Abdullah.
Ustadz Abdullah mengungkapkan, terdapat beberapa langkah-langkah bijaksana untuk menghindari kezaliman, di antaranya:
1. Terus Belajar
Maksudnya mempelajari aturan agama tentang hak dan kewajiban terhadap orang-orang terdekat. Agar semakin mengerti, mana kewajiban yang sudah ditunaikan dengan baik, mana yang telah ditunaikan namun belum maksimal, dan mana yang belum ditunaikan.
2. Selalu Introspeksi
Sebab manusia sering lupa dan lalai. Sehingga secara rutin, dari waktu ke waktu, perlu introspeksi diri. Meningkatkan yang sudah baik dan memperbaiki yang belum baik. Terjatuh pada sebuah kesalahan, adalah hal yang wajar. Namun gengsi meminta maaf saat berbuat kesalahan, adalah sebuah kebodohan.