REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Turki menangkap 44 orang atas tuduhan spionase dan bekerja untuk dinas intelijen Israel, Mossad. Penangkapan ini sebagai bagian dari operasi khusus melawan spionase militer.
Dilaporkan Middle East Monitor, Rabu (14/12/2022), pihak berwenang Turki melakukan operasi keamanan dengan menargetkan "penyelidik swasta" yang menjadi mata-mata untuk Mossad. Mereka memantau, dan mengikuti individu Palestina, serta organisasi non-pemerintah di Turki.
Tujuh tersangka dibawa ke pengadilan setelah polisi Istanbul menyelesaikan prosedur hukum terhadap mereka. Sementara pihak berwenang di Kantor Antiterorisme menginterogasi tersangka lainnya.
Situs web Turki Ahaber melaporkan bahwa, dinas intelijen Turki bekerja sama dengan polisi Istanbul, menangkap 44 orang yang memantau individu, institusi, dan organisasi Palestina di Turki. Surat kabar itu menambahkan, mereka yang dituduh melakukan spionase menerima uang sebagai imbalan untuk mentransfer informasi tentang partai dan tokoh Palestina di Turki ke Mossad. Dinas keamanan di Turkiye masih mencari 13 orang lainnya yang diduga menjadi mata-mata Mossad.
Belum lama ini, Israel dan Turki telah resmi memulihkan hubungan diplomatik penuh. Kedua negara kembali menunjuk duta besar sebagai perwakilan masing-masing.
Pada awal Maret lalu, Erdogan menyampaikan, dia ingin menghidupkan kembali dialog politik dengan Israel. Hal itu diumumkan saat Presiden Israel Isaac Herzog melakukan kunjungan bersejarah ke Turki pada 9 Maret lalu.
"Tujuan bersama kami dengan Israel adalah untuk menghidupkan kembali dialog politik antara negara kami berdasarkan kepentingan bersama, menghormati kepekaan timbal balik," kata Erdogan dalam konferensi pers bersama Herzog, dikutip Anadolu Agency.
Erdogan mengungkapkan, kunjungan Herzog ke Turki akan menjadi titik balik baru dalam hubungan bilateral Ankara dan Tel Aviv. Menurut dia, penguatan relasi dengan Israel penting bagi stabilitas serta perdamaian regional.
Erdogan menekankan kepada Herzog tentang pentingnya mereduksi ketegangan di kawasan, termasuk menjaga visi solusi dua negara terkait konflik dengan Palestina. “Ada di tangan kita untuk berkontribusi pada pembentukan kembali budaya perdamaian, ketenangan, dan koeksistensi di wilayah kita,” ujarnya.
Hubungan Turki dan Israel membeku setelah peristiwa penyerangan kapal Mavi Marmara pada Mei 2010. Mavi Marmara adalah satu dari enam kapal yang bertolak dari Turki untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Sebanyak 10 warga sipil Turki tewas dalam aksi penyerangan Israel ke kapal tersebut.