REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simandjuntak dan tiga tersangka lainnya terkait kasus dugaan suap pengelolaan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) di Provinsi Jawa Timur. Sahat diduga menerima uang sebesar Rp 5 miliar dalam kasus ini.
Tiga tersangka lainnya, yakni staf ahli Sahat berinisial RS; Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang sekaligus Koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas) AH; dan Koordinator Lapangan Pokmas, IW.
"Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Pokmas, tersangka STPS telah menerima uang sekitar Rp 5 miliar," kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/12/2022).
Kasus ini berawal dari APBD Pemprov Jawa Timur yang merealisasikan dana belanja hibah kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat yang ada di Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk Tahun Anggaran 2020 dan Tahun Anggaran 2021. Jumlah dana seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun.
Distribusi penyalurannya antara lain melalui pokmas untuk proyek infrastruktur hingga tingkat pedesaan. Dana belanja hibah tersebut merupakan aspirasi dan usulan dari Sahat yang menjabat sebagai salah satu pimpinan DPRD Jatim.
Sahat pun menawarkan dirinya untuk membantu dan memperlancar pengusulan pemberian dana hibah tersebut dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang sebagai uang muka (ijon). Tersangka AH selaku Kepala Desa Jelgung sekaligus Koordinator Pokmas bersedia menerima menerima tawaran Sahat.
"Diduga ada kesepakatan antara tersangka STPS (Sahat) dengan tersangka AH setelah adanya pembayaran komitmen fee ijon," ungkap Johanis.
Dari kesepakatan itu, Sahat juga mendapatkan bagian sebesar 20 persen dari nilai dana hibah yang akan disalurkan. Sedangkan AH mendapatkan bagian 10 persen.
Pada tahun 2021 dan 2022 nilai dana hibah yang telah disalurkan masing-masing sebesar Rp 40 miliar. AH kemudian kembali menghubungi Sahat untuk mengurus alokasi dana hibah pokmas 2023 dan 2024. "AH kemudian kembali menghubungi tersangka STPS dengan bersepakat untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai ijon sebesar Rp 2 miliar," ungkap dia.
Penyerahan uang pertama, dilakukan pada Rabu (14/12/2022). Saat itu, AH melakukan penarikan uang tunai sebesar Rp 1 miliar dalam pecahan mata uang rupiah di salah satu bank di Sampang. Uang itu kemudian diserahkan kepada IW selaku Koordinator Lapangan Pokmas untuk dibawa ke Surabaya.
Selanjutnya, IW menyerahkan uang Rp 1 miliar tersebut kepada RS yang merupakan orang kepercayaan Sahat di salah satu mal di Surabaya. Sahat lalu memerintahkan RS untuk menukarkan uang tersebut di salah satu money changer dalam bentuk pecahan mata uang dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat.
"Tersangka RS kemudian menyerahkan uang tersebut pada tersangka STPS di salah satu ruangan yang ada di Gedung DPRD Provinsi Jawa Timur," kata Johanis.
Sementara itu, sisa uang Rp 1 miliar yang dijanjikan AH seharusnya akan diberikan pada Jumat (16/12/2022). Namun, mereka sudah lebih dahulu terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, Rabu (14/12/2022).
"Berikutnya tim penyidik masih akan terus melakukan penelusuran dan pengembangan terkait jumlah uang dan penggunaannya yang diterima tersangka STPS," ujar Johanis.
Akibat perbuatannya, Sahat dan RS sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan AH dan IW selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.