REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Peneliti Prancis di organisasi advokasi CAGE yang berbasis di London, Inggris, Rayan Freschi menyampaikan pandangannya soal Islamofobia di Prancis dalam tulisannya yang dimuat di The New Arab.
Freschi menyampaikan Presiden Prancis Emmanuel Macron menuntut kepatuhan politik dengan menggambarkan visi menyeluruh yang sebetulnya diwujudkan Masjid Paris. Nilai-nilai Republik telah menjadi batas-batas yang membatasi ruang politik Islam dan Muslim Prancis beroperasi di dalamnya.
"Bagi Macron, Islam harus sesuai dengan Republik. Memang, ketidaksesuaian menunjukkan bentuk 'separatisme' yang jelas, sebuah konsep yang mulai digunakan Presiden dua tahun lalu ketika dia memperkenalkan RUU Antiseparatisme," jelas Freschi.
Ide separatisme ini menunjuk pada ranah terlarang bagi umat Islam yang dalam hal ini ialah perbedaan pendapat politik dan kebebasan beragama. Dengan kata lain, religiusitas Islam bergantung pada stempel persetujuan negara.
Menggunakan nada menggurui yang mengingatkan pada sejarah kolonial Prancis, Macron kemudian menggambarkan sistem pemerintahannya yang Islamofobia, termasuk undang-undang antiseparatisme yang diadopsi tahun lalu. Undang-undang itu telah menghasilkan efek dramatis dan pembatasan parah terhadap hak-hak fundamental Muslim dan masyarakat sipil sebagaimana dibuktikan oleh laporan CAGE yang ditulis dan diterbitkan Maret lalu.
Dibingkai dengan kebutuhan untuk melindungi keamanan nasional, Prancis menyelidiki 26.614 tempat usaha Muslim, dari bisnis hingga sekolah dan masjid. Sebanyak 836 di antaranya ditutup, sementara 55,9 juta euro disita.