REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Distribusi logistik merupakan salah satu tantangan terbesar negara kepulauan seperti Indonesia. Hal ini mengingat penduduk 270 juta jiwa yang tersebar pada lebih dari 13.000 pulau, pengangkutan barang lewat laut merupakan kunci dari pergerakan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pelabuhan di Indonesia Timur rata-rata memuat barang tak sampai separuh dari volume barang yang dibongkar. Pada 2020, tujuh pelabuhan strategis di Indonesia Timur (Bitung, Makassar, Biak, Ambon, Sorong, Jayapura, dan Tenau) membongkar 13,8 juta ton barang pada pelayaran domestik, tapi hanya memuat 6,2 juta ton barang, atau tidak sampai separuhnya.
PT Subholding Pelindo Terminal Petikemas merinci biaya logistik berasal dari berbagai macam pos biaya. Porsi terbesar (39 persen dari total biaya logistik) berasal dari biaya gudang dan inventory, disusul kemudian biaya angkutan darat (37 persen), ongkos pelayaran dan pelabuhan (12 persen), serta biaya administrasi (11 persen).
Direktur Utama Subholding Pelindo Terminal Petikemas M Adji mengatakan meski kontribusinya terhadap total biaya logistik tidak dominan, biaya pelayaran dan pelabuhan masih dapat ditekan untuk menurunkan biaya distribusi barang.
"Muatan kapal dari Jakarta dan Surabaya ke Indonesia Timur tak berimbang. Sekembalinya dari timur, kapal-kapal ini maksimum hanya terisi 30 persen atau bahkan kosong,” ujarnya dalam keterangan tulis, Jumat (16/12/2022).
Menurutnya jika ongkos logistik yang lebih rendah, ketimpangan distribusi dan disparitas harga antarwilayah dapat dikurangi maka harga pangan, bahan bakar, dan obat-obatan akan lebih terjangkau oleh masyarakat, di mana pun mereka tinggal. Selain itu, industri juga diuntungkan dengan kemudahan mendapatkan bahan baku, dan memasarkan produknya.
“Selain itu, rendahnya ongkos logistik akan membantu menyuburkan perdagangan dan menarik investasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Sementara itu Presiden Direktur PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Arif Suhartono menambahkan perbaikan layanan pelabuhan akan mendorong transformasi pada seluruh perekonomian.
“Sejak penggabungan usaha (merger) setahun terakhir, Pelindo melakukan sejumlah langkah transformasi untuk meningkatkan kinerja pelabuhan. Peningkatan ini diharapkan dapat mengurangi waktu sandar (port stay), sekaligus mempersingkat waktu pelayaran yang pada akhirnya dapat mengurangi biaya logistik,” ucapnya.
Menurutnya transformasi Pelindo dilakukan secara bertahap, mulai dari perbaikan sistem dan tata letak pelabuhan, optimalisasi peralatan bongkar muat, peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai, pembangunan akses dan fasilitas pelabuhan, hingga perbaikan sistem operasi dengan teknologi digital.
Melalui optimalisasi peralatan, Pelindo memindahkan alat bongkar muat, seperti derek dermaga (quay container crane - QCC) dan derek penumpukan (Rubber Tyred Gantry - RTG) ke pelabuhan dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Selain mempercepat proses bongkar muat, optimalisasi peralatan juga memangkas biaya operasi.
“Kebutuhan minimum peralatan dapat dipenuhi tanpa harus membeli alat baru yang mahal dan makan waktu. Sebagai gambaran, harga derek QCC-baru berkisar antara Rp 140 miliar - Rp 160 miliar, sedangkan RTG antara Rp 40 miliar - 50 milliar per unit. Dengan optimalisasi alat, Pelindo dapat menghemat biaya hingga Rp 500 miliar selama setahun terakhir,” ucapnya.
Sejalan dengan itu, lanjut Arif, kapabilitas karyawan juga ditingkatkan. Para staf planner dan controller pelabuhan di daerah dikirim dapat belajar praktik kerja terbaik. Soal penanganan di terminal peti kemas, misalnya, mereka dilatih di Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok dan Pelabuhan Dwikora, Pontianak.
“Karyawan juga dilatih di fasilitas Learning Center Pelindo. Mereka dibekali pemahaman tentang business process yang baru, serta gambaran tentang tahapan dan tujuan transformasi yang dilakukan Pelindo,” ucapnya.