Industri pengemasan (packaging) kebanjiran rezeki dari semaraknya transaksi di lokapasar (e-commerce) dan toko dalam jaringan (online). Laporan e-Conomy SEA 2021 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan, total nilai gross merchandise value (GMV) lokapasar pada 2021 mencapai US$ 70 miliar atau melonjak 48,3% dari GMV tahun 2020 yang senilai US$ 47 miliar.
Produsen pengemasan mengoptimalkan momentum emas ini untuk menggenjot laju bisnis. Beberapa perusahaan pengemasan sudah memetik laba lantaran penjualan produknya semakin meroket.
Sebut contoh, PT Alkindo Naratama Tbk. Perusahaan yang menggarap segmen bisnis kertas dan bahan kimia terintegrasi ini membukukan pertumbuhan laba bersih seiring tren positif pertumbuhan ekonomi digital dan barang konsumsi (fast moving consumer goods/FMCG) di masa pandemi ini. Pada 2021, emiten yang sahamnya berkode ALDO ini mencetak laba bersih Rp 39,31 miliar atau tumbuh 31% dari Rp 30,05 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/YoY).
Herwanto Sutanto, Presiden Direktur Alkindo Naratama, mengatakan bahwa pihaknya mencermati prospek pengemasan akan tumbuh karena disokong pertumbuhan ekonomi digital dan industri FMCG. Pertumbuhan di sektor bisnis ini bakal memicu permintaan produk pengemasan. Herwanto mengamati beragam indikator positif, antara lain perubahan perilaku konsumen yang berbelanja di e-commerce, seperti membeli makanan dan minuman via platform digital.
Perusahaan kemasan lainnya, PT Satya Mitra Kemas Lestari (SMKL), juga kejatuhan durian runtuh. SMKL pada paruh pertama tahun ini membukukan laba bersih Rp 59,57 miliar. Angka ini melonjak 46% dari Rp 40,90 miliar (YoY).
Peningkatan laba bersih kedua perusahaan itu diperoleh dari pertumbuhan penjualan. SMKL mencatatkan omzet sebesar Rp 1,14 triliun alias naik 17,5%. Adapun ALDO mengantongi penjualan senilai Rp 767,22 miliar, meningkat 15% dari Rp 669,85 miliar. Total penjualan ini diperoleh dari penjualan subsektor kertas yang naik 12% atau menjadi Rp 498,78 miliar, dan penjualan subsektor kimia senilai Rp 268,44 miliar, yang tumbuh 20%.
Kendati menjaring laba dan omzet yang ciamik, produsen kemasan ini menggulirkan budaya inovasi demi menangkap momentum emas itu. “Kami melihat potensi yang besar dari tren yang ada saat ini. Oleh karena itu, kami memproduksi food packaging dengan memperkenalkan brown food packaging yang ramah lingkungan. Bahannya terbuat dari kertas cokelat yang berasal dari kertas daur ulang,” tutur Herwanto.
Alkindo Naratama juga meluncurkan produk baru, yaitu kotak kertas (paper box) untuk kemasan makanan dan tas kertas (paper bag) untuk tas belanja yang digunakan pelaku usaha ritel (seperti toko swalayan dan supermarket); perusahaan FMCG; serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain itu, juga memproduksi papercore yang biasa digunakan oleh perusahaan film, plastic, dan flexible packaging.
Bahan baku kertas yang digunakan ALDO itu salah satunya berasal dari kertas bekas yang didaur ulang (recycled paper). Bahan baku tersebut dikumpulkan dan diproduksi oleh anak usahanya, PT Eco Paper Indonesia (ECO).
Inovasi Produk dan Ekspansi
Herwanto menyampaikan, diversifikasi produk untuk masuk ke pasar tas berbahan baku kertas itu untuk merespons perubahan perilaku konsumen di e-commerce dan regulasi di sejumlah daerah untuk tidak menggunakan kantong plastik demi mengurangi pencemaran lingkungan hidup. ”Selain pengemasan untuk food, ada juga segmen terbesar yang non-food. Jika mengirimkan barang, biasanya menggunakan gelembung plastik (bubble wrap) yang bisa menimbulkan pencemaran lingkungan hidup. Jadi, kami pada tahun ini meluncurkan hexa wrap yang bahannya dari kertas cokelat daur ulang berbentuk struktur sarang lebah. Tujuannya adalah untuk mengurangi sampah plastik di industri e-commerce,” paparnya.
Taktik yang tak jauh berbeda dipraktikkan SMKL. Herryanto Setiono Hidayat, Direktur Pemasaran SMKL, mengatakan, produk-produk kemasan perseroan merupakan produk ramah lingkungan lantaran menggunakan bahan baku karton atau kertas cokelat hasil daur ulang.