REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kebijakan Pemerintah menaikan cukai rokok rata rata sebesar 10 persen selama dua tahun berturut turut, pada 2023 dan 2024 mendapatkan kritikan dan penyesalan dari berbagai pihak terutama kalangan pelaku industri hasil tembakau.
Adapun kebijakan yang diambil saat masih terjadi krisis ekonomi, sehingga berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja, sekaligus semakin menyusahkan pelaku ekonomi kecil khususnya UMKM.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Provinsi NTB, Sahmihuddin, menilai saat angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar lima sampai 5,3 persen, maka setiap satu persen kenaikan cukai rokok berpotensi menurunkan angka penjualan sigaret sebanyak 1,61 miliar batang.
“Maka demikian, apabila kenaikan cukai rokok selama dua tahun berturut turut masing-masing rata rata sebesar 10 persen, berarti akan ada penurunan penjualan sigaret lebih dari 16,1 miliar batang. Kenaikkan cukai rokok terus-menerus dilakukan setiap tahun, tanpa mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi cukup ampuh buat menurunkan produksi sigaret bercukai atau rokok legal yang pada akhirnya banyak perusahaan Rokok yang tutup atau mati,” ujarnya kepada wartawan, Ahad (18/12/2022).
Sahminudin menegaskan apabila perusahaan rokok banyak yang mati, selain menutup lapangan pekerjaan, menimbulkan pemutusan hubungan kerja besar-besaran kalangan buruh atau pegawai industri rokok, juga semakin menyengsarakan petani tembakau yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Saat ini terdapat sekitar enam juta tenaga kerja sekitar industri tembakau baik langsung maupun tidak langsung. Ketika setiap tahun pemerintah menaikan cukai rokok dengan angka yang sangat tinggi, jelas membuat perusahaan rokok perlahan lahan akan mati. Apakah pemerintah sudah siap menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja dari sektor industri hasil tembakau yang kehilangan pekerjaan,” ucapnya.
Sementara itu ekonom sekaligus Dosen FEB UB Imaninar Eka Delila menambahkan setiap pemerintah menaikkan harga rokok, konsumen rokok sebagian besar masih akan tetap mempertahankan konsumsi rokoknya, maka rokok berpotensi mendorong kenaikan angka inflasi di Indonesia.
Kedua, adanya kenaikan harga rokok ketika terjadi kenaikan harga barang-barang lainnya, maka daya beli masyarakat akan turun, sehingga para perokok akan tetap merokok dengan beralih pada harga rokok yang lebih murah, bahkan rokok ilegal.
“Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok ketika daya beli masyarakat mengalami penurunan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Kenaikan harga rokok yang saat ini telah melewati titik optimumnya dapat mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau dan berdampak pada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya dari hulu-hilir,” ucapnya.
Ketua Gaprindo, Benny Wachyudi Imanina Eka Delilah, menambahkan saat ini situasi ekonomi sedang benar benar mengalami kesulitan.
Tak hanya industri hasil tembakau yang sedang mengalami kesulitan, industri lainnya juga. Adanya kenaikan cukai rokok selama dua tahun berturut turut semakin memberatkan perekonomi masyarakat, termasuk industri hasil tembakau.
Baca juga: Eks Marinir yang Berniat Mengebom Masjid Tak Kuasa Bendung Hidayah, Ia pun Bersyahadat
“Adanya kenaikan cukai. Tentu ini sangat memberatkan. Belum lagi dengan daya beli yang sangat turun. Dalam situasi seperti ini harusnya ada kelonggaran berupa penundaan kenaikan cukai rokok,” ucapnya.
Ketua Umum Formasi, Heri Susianto, menambahkan setiap kali kenaikan tarif cukai rokok, berdampak pada pengurangan jumlah penjualan rokok dan berdampak penurunan produksi. Hal ini akan mengancam keberlangsungan tenaga kerja sektor industri rokok.
“Jika pemerintah masih terus menaikkan cukai rokok, tanpa diimbangi dengan pemberantasan rokok ilegal, sudah pasti perusahaan rokok nasional di tanah air, lama lama akan hancur. Hal ini berarti juga mengancam keberlangsungan lapangan pekerjaan sektor industri rokok. Sekaligus juga akan menyebabkan banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya,” ucapnya.
“Harapan kami agar kebijakan menaikan cukai rokok ditinjau lagi. Kalaupun tetap naik, kenaikannya satu digit saja atau sekitar tujuh sampai delapan persen saja tidak naik setinggi itu,” ucapnya.