REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel mendeportasi pengacara hak asasi manusia keturunan Prancis-Palestina, Salah Hamouri pada Ahad (18/12/2022). Hamouri dituduh melakukan pelanggaran keamanan terhadap negara Israel.
Hamouri diantar ke bandara pada Ahad pagi untuk naik pesawat ke Perancis. Hamouri (37 tahun), merupakan seorang penduduk Yerusalem tanpa kewarganegaraan Israel.
Status kependudukannya dicabut pada 1 Desember dengan tuduhan bahwa dia aktif di Front Populer untuk Pembebasan Palestina. Israel dan Barat mengklasifikasikan front tersebut sebagai kelompok teror.
"Selama hidupnya dia mengorganisir, menginspirasi dan merencanakan untuk melakukan serangan teror sendiri dn untuk organisasi terhadap warga dan orang terkenal Israel," kata pernyataan dari Kementerian Dalam Negeri Israel.
Sebuah pernyataan dari tim kampanye Hamouri menyebut deportasi itu sebagai "kejahatan perang". Mereka mengatakan, langkah Israel itu merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
"Ke mana pun seorang Palestina pergi, dia membawa serta prinsip-prinsip ini dan tujuan rakyatnya: tanah airnya dibawa bersamanya ke mana pun dia berakhir," kata Hamouri dalam sebuah pernyataan.
Hamouri belum lama ini ditahan oleh Israel di bawah penahanan administratif tanpa tuduhan pada 7 Maret hingga 1 Desember. Israel mencabut izin tinggalnya dan mendeportasi Hamouri.
Sebelumnya Hamouri ditahan oleh Israel antara tahun 2005 dan 2011 setelah dituduh berusaha membunuh Sephardi rabbi Ovadia Yossef, pendiri partai Shas ultra-Ortodoks. Dia mengaku tidak bersalah atas tuduhan itu.
Hamouri dibebaskan pada Desember 2011 sebagai bagian dari pertukaran tahanan Palestina dengan Gilad Shalit, tentara Israel yang dibebaskan pada Oktober 2011 setelah lima tahun ditahan oleh Hamas di Jalur Gaza.
Mayoritas lebih dari 340.000 warga Palestina di Yerusalem Timur memegang izin tinggal Israel, tetapi hanya sedikit yang memiliki kewarganegaraan di Israel.
Direktur eksekutif HaMoked yang mewakili Hamouri, Jessica Montell,mengatakan kepada Reuters bahwa penduduk Yerusalem lainnya telah didakwa dengan pelanggaran kesetiaan dan tempat tinggal mereka dicabut di masa lalu. Namun, tidak dapat dideportasi karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan lain. Oleh karena itu, kasus Hamouri menjadi preseden untuk deportasi warga Yerusalem yang memiliki kewarganegaraan alternatif, kata Montell.
"Karena dia memiliki kewarganegaraan kedua, itu membuatnya lebih rentan untuk dideportasi," kata Montell.
Montell menambahkan, dia memperkirakan kasus serupa akan lebih sering muncul di bawah koalisi sayap kanan yang diperkirakan akan membentuk pemerintahan Israel berikutnya. "Kami hanya dapat berharap bahwa semua tindakan ini akan dipercepat dengan masuknya pemerintahan baru ini," kata Montell.