REPUBLIKA.CO.ID, KHAN YOUNIS -- Ribuan orang bergabung dalam pemakaman delapan pemuda Palestina yang tenggelam di lepas pantai Tunisia hampir dua bulan lalu, Ahad (18/12/2022). Peristiwa ini memicu kritik publik yang jarang terjadi terhadap kelompok Hamas yang berkuasa di Gaza.
“Pemerintah yang mengatur kami di sini adalah alasannya. Itu yang harus disalahkan. Itu yang harus disalahkan," kata Naheel Shaath yang putranya yang berusia 21 tahun bernama Adam meninggal dalam peristiwa itu.
"Saya menyalahkan semua pejabat di sini yang tidak peduli pada pemuda atau memberikan kesempatan kerja bagi mereka," ujarnya.
Israel dan Mesir memberlakukan blokade setelah Hamas menguasai Gaza dari Otoritas Palestina yang diakui secara internasional pada 2007. Israel mengklaim penutupan yang membatasi pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari wilayah itu itu diperlukan untuk mencegah Hamas mempersenjatai diri.
Israel dan sekutu Baratnya telah mencap Hamas sebagai kelompok teroris. Para kritikus mengatakan blokade tersebut merupakan hukuman kolektif.
Blokade telah melumpuhkan ekonomi Gaza, dengan pengangguran meroket mendekati 50 persen dan penduduk biasanya dengan cepat menyalahkan Israel atas kondisi yang sulit. Namun semakin banyak keluarga mulai mengeluh tentang kepemimpinan Hamas.
Pemerintahan yang dijalankan Hamas menetapkan pajak yang tinggi, aturannya yang keras, dan mengeluarkan para pemimpin dari wilayah itu. Pemimpin tertinggi Hamas Ismail Haniyeh telah pindah ke luar negeri ke tempat yang lebih nyaman bersama keluarganya.
"Anak-anak kami tenggelam di laut dan anak-anak mereka menikmati kemewahan. Bukankah ini tidak adil?" kata Shaath.
Shaath mengatakan, putranya telah belajar tata rambut tetapi tidak dapat menemukan pekerjaan yang layak. Bahkan ketika dia dipekerjakan di toko tukang cukur lokal, dia hanya mendapat 10 shekel atau sekitar tiga dolar AS per hari.
“Jika ada pekerjaan di sini untuk para pemuda yang sedih itu, apakah mereka akan pergi dan bermigrasi?” ujarnya.
Kekecewaan terhadap Hamas pun disampaikan oleh keluarga al-Shaers. Keluarga ini menguburkan putranya bernama Mohammed yang berusia 21 tahun. Sedangkan adiknya Maher berusia 20 tahun masih hilang.
Ibu mereka, Amina, menyalahkan Hamas atas kesengsaraan keluarga. “Apa yang kita lihat di Gaza? Kami hanya melihat penindasan. Mereka mencekik pemuda dan pemuda melarikan diri karena mati lemas," ujarnya.
Ketiga pemuda itu mengikuti jalan yang diambil oleh ribuan orang sebelumnya, melarikan diri ke Turki, salah satu dari sedikit negara yang menerima warga Palestina dari Gaza. Namun mereka harus menempuh perjalanan berbahaya agar bisa mencapai Eropa.
Dari Turki, para migran bisa pergi ke Mesir dan kemudian ke Libya. Keluarga mengatakan kehilangan kontak dengannya pada 4 Oktober dan berharap berhasil sampai ke Belgia. Namun kabar buruk datang pada 24 Oktober karena mereka berada di kapal yang tenggelam di lepas pantai Tunisia.
Menurut Monitor Hak Asasi Manusia Euro-Med nirlaba yang berbasis di Jenewa, sekitar 360 orang dari Gaza telah meninggal atau hilang di Mediterania pada kapal penyelundupan sejak 2014. Jenazah delapan warga Palestina dikembalikan ke Gaza melalui perbatasan Rafah dengan Mesir.
Sebanyak delapan ambulans membawa jenazah ke rumah sakit, dengan ribuan orang yang meratap bergabung dalam pemakaman massal. Prosesi pecah menjadi pemakaman yang lebih kecil karena setiap keluarga membawa pulang putra untuk mengucapkan selamat tinggal terakhir sebelum dimakamkan.