REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengingatkan kinerja para Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar bijak dalam menggunakan kewenangan. Ia tak ingin JPU malah sewenang-wenang.
Hal tersebut disampaikan Eddy itu dalam seminar peluncuran hasil Audit KUHAP yang digelar ICJR pada Selasa (20/12). Ia sepakat soal revisi KUHAP demi prinsip keadilan bagi masyarakat.
"Jaksa itu adalah dominus litis merupakan pemegang perkara pidana, hati-hati penuntutan yang dilakukan jaksa itu bukan kewajiban, itu kewenangan," kata Eddy dalam kegiatan tersebut.
Eddy turut menyoal azas oportunitas dalam kerja jaksa. Azas itu memberikan wewenang kepada jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut demi kepentingan umum dengan syarat atau tanpa syarat, seseorang, atau korporasi yang telah mewujudkan delik.
"Yang melekat pada kewenangan ada azas oportunitas itu dimiliki jaksa dan bisa deponir (hak menyampingkan perkara), dan sebagainya," lanjut Eddy.
Eddy juga menyebut ada situasi berbeda antara Indonesia dan negara lain terkait kinerja jaksa. Indonesia, lanjutnya, memiliki karakteristik tersendiri walau jaksa bertindak sebagai dominus litis. "Ada azas diferensiasi fungsional. Masing-masing aparat punya tugas sendiri-sendiri," ujarnya.
Di sisi lain, Eddy menyayangkan KUHAP yang condong pada crime control model atau model menurunkan angka kejahatan di masyarakat. Alasannya, model itu mengutamakan kecepatan, kuantitas dan praduga bersalah. Menurutnya, model semacam itu memang tak menggunakan pendekatan berperspektif orang yang diduga melakukan kesalahan, melainkan hanya mementingkan aparat penegak hukum.
"KUHAP kita kalau ibarat timbangan, bandulnya lebih berat pada crime control model karena utamakan kecepatan orang ditahan ada batas waktu. Utamakan kuantitas, mohon maaf, kita tahu persis Kejagung waktu dipimpin Jaksa Agung Hendarman ada target perkara korupsi, itu kuantitas. Ketiga, presumption of guilt, nggak ada pasal di KUHAP bicara praduga tidak bersalah," ungkap Eddy.
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR akhirnya mencapai kata sepakat soal RKUHP hingga disahkan menjadi KUHP baru. Sedangkan Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengatakan berdasarkan kesepakatan informal antara Komisi III dengan Pemerintah Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan menjadi inisiatif DPR. DPR telah menerima masukan bagi bagi RUU KUHAP.