REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Percepatan akses obat-obatan inovatif memegang peranan penting dalam mendorong peningkatan produktivitas masyarakat dan ekonomi negara. Berdasarkan data terbaru, saat ini Indonesia menempati peringkat terakhir ASEAN, di mana baru sembilan persen obat baru yang diluncurkan selama 9 tahun terakhir (2012-2021).
International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) secara konsisten terus menyuarakan aspirasi ini kepada stakeholder terkait untuk memperbaharui standar pelayanan kesehatan dengan inovasi-inovasi, serta memperluas akses obat-obatan inovatif.
Ait-Allah Mejri, Ketua IPMG mengatakan, laporan tersebut menyoroti bahwa hanya sekitar 1 dari 10 obat baru yang diluncurkan secara global tersedia untuk pasien Indonesia. "Hal ini perlu mendapat perhatian khusus mengingat akses tepat waktu ke obat-obatan baru dapat menyelamatkan hidup pasien, meningkatkan hasil kualitas kesehatan, membantu mengurangi biaya perawatan kesehatan, berkontribusi pada produktivitas ekonomi, dan menjadikan Indonesia tujuan yang lebih menarik untuk investasi dan inovasi masa depan,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (20/12/2022).
Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam cakupan kesehatan selama dekade terakhir. Selain itu, hampir 90 persen masyarakat Indonesia saat ini telah mendapat jaminan kesehatan oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sejak diimplementasikan tahun 2014. Namun, tantangan baru menunjukan bahwa jumlah jangkauan JKN saja tidak cukup untuk mencapai sistem kesehatan yang berkualitas tinggi.
Solusi untuk percepatan adopsi obat-obatan baru di Indonesia sudah ada, tetapi perlu lebih mempelajari beberapa hambatan mendasar untuk bisa mengadopsi well-evidenced innovation tersebut.
Nora T Siagian, IPMG Board Member menyatakan, akar permasalahan ini bersifat multi- faktorial dan hanya dapat diatasi melalui kerjasama lintas sektor. Permasalahan ini mencakup akses masuk ke pasar Indonesia dan peraturan yang mengatur pendaftaran obat di JKN, keterbatasan anggaran, dan kurang optimalnya value-based assessment dan strategi pembiayaan yang inovatif.
"Perbaikan dalam berbagai aspek diperlukan agar obat-obatan inovatif tersedia bagi pasien yang membutuhkan sehingga bisa membawa pasar Indonesia lebih menarik bagi investor,” kata Nora.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, Mantan Dekan dan Guru Besar Ekonomi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyatakan, jika Indonesia tidak membuat kebijakan besar perbaikan sistem kesehatan sekarang, maka kualitas dan produktivitas Generasi Emas yang dicita-citakan pada 2045 tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa Asia lain dengan sistem kesehatan yang lebih baik.
Thabrany menambahkan, cara paling efektif untuk mencegah puluhan triliun rupiah dana Indonesia keluar negeri untuk biaya pengobatan adalah meningkatkan belanja dan tarif JKN sampai pada harga keekonomian yang layak. Selain itu, Sistem Kesehatan harus memberikan insentif finansial agar seluruh penduduk dapat menikmati obat-obat inovatif dalam rangka perbaikan kualitas hidup bangsa.
IPMG melihat bahwa Indonesia memiliki kesempatan emas untuk mentransformasi layanan kesehatan dengan cara meningkatkan investasinya pada sektor kesehatan, terlebih pada obat- obatan preventif dan layanan kesehatan primer. Selain itu, perlu diimbangi dengan upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap obat-obatan life-saving yang merupakan obat-obatan esensial, serta memiliki standar yang dapat mengikuti kemajuan inovasi.
Dr. Rosa C. Ginting, Ketua Umum Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI), berpendapat, saat ini perlu dikembangkan suatu pendekatan yang jelas untuk kerja sama antara JKN dan asuransi swasta. Perlu diciptakan produk ‘top-up health insurance’ di JKN yang mencakup kebutuhan layanan kesehatan masyarakat kelas menengah-atas. Hal ini dapat dimulai dengan mengelompokkan produk yang dibatasi atau yang tidak ditanggung oleh BPJS, berdasarkan kualitas dan kuantitas obat, dan berdasarkan pilihan Dokter yang ditujukan untuk perorangan atau kelompok.
“Adanya mekanisme pertukaran informasi antara asuransi swasta dan BPJS dalam menentukan struktur dan skema manfaat serta harga, sangat diperlukan untuk kita bisa mentransformasi layanan kesehatan lebih baik,” tambahnya.
IPMG mendukung pembuatan kebijakan berdasarkan bukti klinis yang akan memastikan bahwa pasien mendapatkan pelayanan dan perawatan kesehatan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Nora T Siagian menambahkan, lingkungan yang kondusif untuk inovasi ditandai dengan adanya anggaran layanan kesehatan yang cukup. Penilaian teknologi kesehatan atau Health Technology Assessments (HTAs) harus memainkan peranan kunci dalam daftar pembiayaan dan manfaat obat.
“Anggota IPMG memiliki beragam pengalaman dalam pendekatan terhadap HTA di berbagai negara dan berkomitmen untuk dapat terus bekerja sama dengan Pemerintah dalam mengadopsi strategi HTA yang tepat sesuai kebutuhan kesehatan di Indonesia,” kata Nora.
Ait-Allah Mejri menyimpulkan, anggota IPMG berkomitmen untuk terus melakukan edukasi dan meningkatkan pengetahuan medis secara berkesinambungan di Indonesia. "Komitmen kami ini tentu memerlukan keterlibatan dan dialog terbuka dengan berbagai pihak utamanya Pemerintah, akademisi dan mitra swasta lainnya untuk bisa mendorong pemahaman yang lebih baik terkait inovasi di bidang kesehatan, dan menggambarkan lebih jelas manfaat nilai inovasi ini dalam perimbangan faktor ekonomi kesehatan Indonesia,” katanya.