Rabu 21 Dec 2022 04:43 WIB

Pesawat N219 dan Peta Jalan Membuat Industri Dirgantara Berjaya

Pengembangan pesawat terbang dalam negeri tingkatkan produktivitas ekonomi Indonesia.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Pesawat N219 di hangar PT Dirgantara Indonesia, Kota Bandung, Jawa Barat.
Foto: Dok PT DI
Pesawat N219 di hangar PT Dirgantara Indonesia, Kota Bandung, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, Industri kedirgantaraan menjadi solusi bagi Indonesia untuk menjadi negara maju ke depannya. Hal itu karena dari hasil kajian dan penelitian, hanya industri pesawat terbang yang bisa memberi nilai tambah terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun meluncurkan Peta Jalan Pengembangan Ekosistem Industri Kedirgantaraan 2022-2045. Peta Jalan tersebut dapat menjadi panduan pelaksanaan kebijakan pembangunan untuk mewujudkan industri dirgantara nasional yang berdaya saing, serta membawa kemajuan, dan kesejahteraan bersama.

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, jika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia secara konsisten, solusinya harus bisa mendorong PT Dirgantara Indonesia (PT DI) bersama seluruh pihak untuk mengembangkan pesawat terbang dalam negeri.

Dari kajian yang dilakukan Bappenas dan pemangku kepentingan lainnya, kata dia, Indonesia harus mau belajar dari Amerika Serikat (AS). Hal itu karena industri kedirgantaraan di AS menjadi industri dengan rata-rata upah terbesar kedua setelah sektor informasi dan teknologi (IT).

Atas dasar itu, Indonesia mau tidak mau harus membuat industri pesawat dalam negeri menjadi berjaya. Konsekuensinya, jika langkah itu berhasil maka pertumbuhan ekonomi tinggi bisa terus tercapai selama bertahun-tahun.

"Salah satu kunci kita bisa mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang hanya bisa dengan peningkatan produktivitas. Tanpa peningkatan produktivitas, Indonesia tidak bisa tumbuh tinggi secara berkelanjutan untuk jangka panjang," katanya di acara Indonesia Development Forum (IDF) 2022 bertema 'Reviving The Aerospace Industries Through Sustainable Aircraft Project in Indonesia' di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada 22 November 2022.

Amalia memaparkan, untuk mengembangkan tahapan industrialisasi di Indonesia, bisa dimulai dengan fokus kepada human capital intensive industry. Dia menyebutkan, jika pemerintah mampu mendorong industri pesawat terbang dalam negeri menggeliat maka industri terkait lainnya pasti ikut bergerak. Akibatnya, hal itu dapat menciptakan efek pengganda bagi perekonomian Indonesia.

Menurut Amalia, terpenting juga adalah, pengembangan pesawat terbang buatan dalam negeri mendukung proses adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas ekonomi Indonesia. Dia mengungkapkan, pengembangan industri kedirgantaraan sudah masuk ke dalam dalam Visi Indonesia 2045.

Pada satu abad perayaan kemerdekaan RI nanti, sektor industri tersebut ditargetkan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 26 persen produk domestik bruto (PDB). Amalia menyadari, mengembangkan industri kedirgantaaraan bakal menghadapi besar. Sehingga persoalan itu tidak bisa diserahkan ke PT DI semata.

"Ini harus kita kerjakan secara callaborative effort. Kalau kita ingin meningkatkan daya saing secara cepat dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara progresif paling penting, PT DI, pemerintah, akademisi, dan seluruh ekosistem kedirgantaraan harus bekerja sama bahu-membahu," kata Amalia.

Direktur Produksi PT DI Batara Silaban menyampaikan, pihaknya kini sedang mengembangkan pesawat N219 sebagai produk anak bangsa. Dia menegaskan, pesawat berkapasitas 19 penumpang tersebut betul-betul dari mulai proses merancang bangun, menjadi prototipe, hingga sertifikasi, dikerjakan oleh pegawai PT DI selaku putra-putri bangsa.

"Sudah jelas N219 ini menjadi satu aircraft project kita me-reviving industri yang ada, menjadikan N219 satu ikon membangun industri kedirgantaraan," kata Batara.

Dia menerangkan, latar belakang PT DI mengembangkan N219 adalah untuk menjangkau daerah-daerah yang memang sulit diakses transportasi lain. Karena itu, desain N219 dikhususkan untuk menjangkau daerah perintis dan area pegunungan yang memiliki bandara minim fasilitas.

"Desain N219 ini sesuai karakteristik kepulauan Indonesia. Selain konektivitas, N219 juga (bisa untuk) logistik di daerah perintis, konfigurasi juga bisa untuk pelayanan kesehatan dan bencana, serta sistem pertahanan, hingga mendukung industri pariwisata, bisa dikonfigurasi sesuai kebutuhan yang ada," ucap Batara.

Dia menyatakan, PT DI sudah mengidentifikasi dan memproyeksikan potensi kebutuhan pasar N219 di dalam negeri mencapai 131 pesawat. Angka itu terdiri 77 pesawat biasa dan 54 pesawat amfibi, yang bisa digunakan untuk pemerintah daerah (pemda), sektor pertahanan, hingga kelembagaan.

Batara bersyukur, PT Karya Logistik Indotama (KLI) sudah meneken kontrak pembelian 11 unit N219 saat perhelatan Indo Defence 2022. Pun TNI AD juga bakal memesan 10 unit dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) tiga unit.

Dengan kontrak di depan mata seperti itu, kata dia, PT DI tentu membutuhkan dukungan sumber pembiayaan agar bisa memenuhi pesanan. Jika masalah finansial terpenuhi, Batara yakin, PT DI dapat segera mengejar penerbangan pertama selama 24 bulan sejak sekarang atau dengan kata lain produk diserahterimakan pada medio 2024.

Dia menegaskan, jika pesawat N219 benar terwujud maka bakal memuat kandungan lokal sekitar 44,96 persen, yang itu melibatkan 19 industri lokal penyuplai komponen. Menurut Batara, apabila produksi N219 sudah berjalan maka pemerintah menargetkan dalam jangka tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) mencapai 60 persen.

Atas dasar itulah, PT DI meminta dukungan agar proyek N219 bisa berjalan lancar. Sehingga, proses pengerjaannya mampu memberi dampak luar biasa bagi perkembangan industri terkait. "Ini bisa memberi value added bagi semua pihak," ucap Batara.

Sementara itu, pakar penerbangan Ilham Habibie menyampaikan, teknologi kedirgantaraan sudah tergolong sebagai high tech. Meski begitu, ia berpesan kepada PT DI sebagai integrator perusahaan industri aviasi untuk mulai memperhatikan datangnya teknologi baru yang sedang dikembangkan di berbagai belahan dunia.

Walaupun belum ada kepastian, kata dia, namun ke depannya, teknologi pesawat tidak hanya mengandalkan avtur. Ilham berpesan agar PT DI bisa mengikuti teknologi terkini untuk mengantisipasi perubahan di kemudian hari. Tujuannya agar Indonesia bisa ikut beradaptasi ketika teknologi terbaru digunakan dalam industri penerbangan dunia.

"Suatu ketika pesawat terbang nanti bisa terbang dan tinggal landas sepenuhnya dari tenaga listrik atau sebagian, apa full elektrik atau hibrida, atau sama sekali berubah konsep menjadi hidrogen sebagai bahan bakar. Membuat industri kita ramah lingkungan dan ramah iklim sebuah keniscayaan, bukan hanya dampak tapi harus kita kembangkan," kata Ilham.

Cegah devisa keluar

Vice Chairman of CSE Aviation, Samudra Sukardi menjelaskan, Indonesia yang terdiri 270 juta penduduk dengan 17.000-an pulau memiliki sekitar 600 bandara (airport) dan lapangan terbang (airstrip). Dengan kondisi seperti itu maka kehadiran pesawat terbang bisa difungsikan menjadi jembatan udara, karena setiap wilayah tidak terhubung satu sama lain.

"Jembatan udara berarti transportasi udara. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi provinsi atau daerah itu perlu transportasi udara di seluruh wilayah Indonesia," kata Samudra.

Dia menilai, Indonesia yang merupakan negara kepulauan membutuhkan satu pesawat penghubung (feeder aircraft) yang bertugas mengangkut penumpang dari kota kecil ke kota besar atau kota kecil ke kota kecil untuk dikumpulkan di kota besar. Sehingga, kehadiran pesawat N219 benar-benar menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dipenuhi.

Dengan hadirnya pesawat produksi PT DI maka dapat memasok kebutuhan dalam negeri yang cukup besar. Samudra menganggap, ukuran pesawat N219 yang sedang dikembangkan tersebut adalah hampir tidak memiliki pesaing di luar negeri, sehingga produknya dapat dengan mudah diserap pasar dalam negeri.

"Ini pesawat sulit ditiru. Singapura saja sulit meniru, ini jadi unggulan, karena mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, baik negara maupun provinsi. Ini mencegah keluarnya devisa," kata Samudra.

Dia mencontohkan, pemda di Papua selama ini membeli pesawat buatan luar negeri. Dengan begitu, ada uang yang keluar untuk pembayaran. Untuk itulah, pemda sebaiknya nanti membeli pesawat N219 untuk dioperasikan mengangkut penumpang atau barang di wilayah Papua.

"Dalam rangka membangun jembatan udara diperlukan penyatuan kebijakan dari semua departemen terkait menjadi terintegrasi, mendukung kepentingan ekosistem industri, dan memprioritaskan produk N219 sebagai unggulan sehingga multiplier effect akan terjadi. Marketnya harus didorong Kemenhan, Bakamla, pemda, jangan sampai mereka malah (beli) keluar, karena devisa ya ikut keluar," kata Samudra.

Cocok untuk Papua

Direktur PT Aviasi Puncak Papua (APP) Samuel Resoeboen mengatakan, di Papua sebenarnya terdapat 700 airstrip. Hanya saja, baru sebanyak 300 airstrip yang terdatar dan punya sertifikat dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sebagian besar airstrip itu dibangun penduduk setempat, yang lokasinya berada di pegunungan dan panjang landasan di bawah 1.000 meter.

Dia pun membagikan pengalaman ketika harus naik pesawat perintis di beberapa lapangan terbang di Kabupaten Puncak Jaya yang lokasinya sangat menantang. Marome Airstrip, misalnya berada di ketinggian 6.200 kaki dengan panjang landasan 350 meter, Sinokla Airstrip di ketinggian 4.250 kaki dengan panjang landasan 566 meter, dan Hukimo Airtsrip di ketinggian 5.920 kaki dengan panjang landasan cuma 210 meter.

Dia memaparkan, kondisi geografis Kabupaten Puncak Jaya yang terdiri 26 distrik dan 206 kampung berada di ketinggian 2.600-4.000 meter. Akses masuk ke Kabupaten Puncak hanya bisa dilalui dengan pesawat. Jika memang PT DI bisa merampungkan N219 maka pasti pemda di Papua sangat tertarik untuk membelinya.

Dengan begitu, perputaran uang di Papua tetap berada di wilayah NKRI. Pihaknya pun siap untuk mempromosikan pesawat buatan anak bangsa itu ke berbagai pemda di Bumi Cenderawasih. Konsekuensinya, Samuel mengatakan, Kemenhub dan PT DI harus membuat fasilitas maintenance, repair, and overhaul (MRO) di Papua.

Hal itu agar proses perawatan pesawat bisa dilakukan tanpa perlu keluar pulau. Tidak hanya itu, Samuel mengaku, siap juga membantu memasarkan N219 ke negara tetangga yang lokasi geografisnya mirip dengan Papua.

"Negara tetangga kami Papua Nugini juga butuh banyak pesawat kayak N219, kita bisa bantu jualan di sana. Buka MRO (bengkel pesawat), banyak pesawat di Papua Nugini tidak ada apa-apa (bengkel) di sana, bisa datang ke kita untuk perawatan," kata Samuel.

Tidak lupa, Samuel mengingatkan, PT DI harus meminta izin kepada Kemenhub untuk melakukan uji terbang di Papua. Karena kalau N219 bisa berhasil melalui tes approval di Papua, ia meyakini, seluruh dunia akan berbondong-bondong membeli pesawat tersebut. Hal itu karena medan terbang di Papua sangat menantang dan bisa menguji ketangguhan pesawat.

"Karena memang kondisi begini, dia (pesawat) berhasil, semua orang tertarik, ini pesawat unggul. Kami punya tambahan empat provinsi baru dan pembangunan butuh pesawat lebih banyak, butuh pesawat kecil dan pasar N219 itu terbuka lebar," kata Samuel.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement