REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum menahan maupun menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe. Lembaga antirasuah ini menyebutkan ada beberapa alasan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi itu tak kunjung ditahan.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, pihaknya bisa saja menjemput paksa Lukas dan menahannya. Namun, KPK tidak ingin ada konflik horizontal di Bumi Cendrawasih akibat upaya paksa ini dilakukan.
"Dampak terhadap masyarakat di sana mesti kita perhitungkan juga dong. Nanti kalau terjadi konflik horizontal kan kita khawatir juga," kata Alex di Jakarta, Selasa (20/12/2022).
Alex mengatakan, Lukas memiliki banyak pendukung yang berjaga di rumahnya dengan membawa senjata tajam. Menurut dia, KPK tentu memperhitungkan dampak sosial yang bisa terjadi.
Selain itu, sambung Alex, KPK juga mempertimbangkan kondisi kesehatan Lukas. Pihak Lukas sudah sempat mengajukan permohonan untuk berobat ke Singapura. Namun, KPK belum memberikan izin dan menyarankan agar Lukas mendapatkan perawatan medis di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
Alex menjelaskan, KPK akan mengizinkan Lukas berobat ke Singapura jika mendapatkan rekomendasi dari RSPAD. "Nanti berdasarkan rekomendasi dari dokter RSPAD kalau memang yang bersangkutan (Lukas) perlu ditindak ke Singapura, pasti akan kami fasilitasi, tapi statusnya jelas bahwa yang bersangkutan itu kita tahan. Kemudian kita bantarkan kalau yang bersangkutan sakit," jelas Alex.
KPK telah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Papua. KPK belum mengumumkan secara resmi soal status tersangka Lukas Enembe.