REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan industri pengolahan bijih bauksit sebelum larangan ekspor mulai berjalan pada Juni 2023. Ia menyebut, saat ini sudah ada empat fasilitas pemurnian bauksit dengan kapasitas alumina sebesar 4,3 juta ton.
“Selain itu pemurnian bauksit dalam tahap pembangunan itu kapasitas inputnya adalah 27,41 juta ton dan kapasitas produksinya 4,98 juta ton atau mendekati 5 juta ton,” ujar Airlangga dalam keterangannya di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Cadangan bauksit Indonesia mencapai 3,2 miliar ton dan ketahanannya bisa mencapai 90-100 tahun. Airlangga menyebut, cadangan ini bisa memenuhi kapasitas pengolahan dan pemurnian bauksit yang ada. Serta masih bisa untuk mencukupi 12 smelter lainnya.
“Jadi dari jumlah smelter yang disiapkan 8 tersebut, masih bisa 12 smelter lain dan ketahanan daripada bauksit kita antara 90 sampai 100 tahun masih cukup reserve yang ada,” ujarnya.
Bijih bauksit ini akan diolah menjadi alumina dan juga aluminium, serta turunan-turunan lainnya. Airlangga mengatakan, larangan ini diberlakukan untuk seluruh bauksit mentah, termasuk yang dicuci. Selama ini, lanjutnya, bauksit bisa dicuci kemudian diekspor. Namun mulai Juni 2023 nanti, ekspor bauksit yang dicuci pun juga dilarang dilakukan.
Saat ini jumlah impor aluminium Indonesia mencapai 2 miliar dolar AS. Dengan adanya pabrik pengolahan bauksit, kata Airlangga, maka Indonesia bisa menghemat devisanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, larangan ekspor bijih bauksit ini akan berdampak pada penurunan ekspor dalam tahap awal. Meski demikian, lompatan dari nilai yang dihasilkan akan mulai terlihat pada tahun kedua hingga keempat.
“Pengalaman di nikel seperti itu. Jadi jangan ragu-ragu saya sampaikan pada para menteri jangan bimbang mengenai policy ini kita harus yakin,” ujarnya.