REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat prihatin dengan meningkatnya laporan kasus Covid-19 di seluruh China. Dia memperingatkan bahwa tingkat vaksinasi yang lambat dapat mengakibatkan sejumlah besar orang yang rentan terinfeksi.
"WHO sangat prihatin dengan perkembangan situasi di China dengan meningkatnya laporan penyakit parah,” kata Tedros.
Menurut Tedros pada Rabu (21/10/2022), kematian akibat Covid-19 memang telah turun lebih dari 90 persen sejak puncak globalnya. Namun dia menekankan, masih ada terlalu banyak ketidakpastian tentang virus tersebut untuk menyimpulkan bahwa pandemi telah berakhir.
Tedros pun menyatakan, WHO membutuhkan lebih banyak informasi tentang tingkat keparahan Covid-19 di China, terutama mengenai penerimaan rumah sakit dan unit perawatan intensif. "Untuk membuat penilaian risiko yang komprehensif dari situasi tersebut di wilayah itu," ujarnya.
Beberapa ilmuwan telah memperingatkan bahwa penyebaran Covid-19 yang tidak terkendali di China dapat memicu munculnya varian baru yang mungkin mengurai kemajuan yang dibuat secara global untuk mengatasi pandemi. "Vaksinasi adalah strategi keluar dari omicron," kata kepala kedaruratan WHO Dr Michael Ryan.
Ryan mengatakan, lonjakan kasus di China tidak semata-mata karena pencabutan banyak kebijakan pembatasan negara itu dan tidak mungkin menghentikan transmisi omicron yang merupakan varian Covid-19 yang paling menular yang pernah terlihat. Dia mengatakan, tingkat vaksinasi di antara orang yang berusia di atas 60 tahun di China tertinggal dari banyak negara lain dan kemanjuran vaksin buatan China sekitar 50 persen.
"Itu bukan perlindungan yang memadai dalam populasi sebesar China, dengan begitu banyak orang yang rentan,” kata Ryan.
Meskipun China telah secara dramatis meningkatkan kapasitasnya untuk memvaksinasi orang dalam beberapa minggu terakhir, Ryan mengingatkan, tidak jelas apakah itu akan cukup. Hingga saat ini, China telah menolak untuk mengotorisasi vaksin RNA buatan Barat, yang telah terbukti lebih efektif daripada vaksin buatan lokal.
Beijing setuju untuk mengizinkan pengiriman vaksin BioNTech-Pfizer untuk diimpor, itu pun untuk orang Jerman yang tinggal di China. “Pertanyaannya tetap apakah cukup vaksinasi dapat dilakukan dalam seminggu atau dua minggu mendatang yang benar-benar akan menumpulkan dampak gelombang kedua dan beban sistem kesehatan,” kata Ryan.
Seperti Tedros, Ryan mengatakan, WHO tidak memiliki cukup informasi tentang tingkat penyakit parah dan rawat inap. Namun, dia mencatat bahwa hampir semua negara yang kewalahan oleh Covid-19 telah berjuang untuk membagikan data secara langsung.
Ryan juga menyarankan definisi China tentang kematian akibat Covid-19 terlalu sempit. Dia mengatakan, Beijing membatasinya hanya pada orang yang menderita gagal napas.
"Orang yang meninggal karena Covid meninggal karena berbagai kegagalan sistem (organ), mengingat tingkat keparahan infeksinya. Membatasi diagnosis kematian akibat Covid pada seseorang dengan tes positif Covid dan gagal napas akan sangat meremehkan jumlah kematian sebenarnya yang terkait dengan Covid," kata Ryan.
Contoh saja Inggris mendefinisikan kematian akibat Covid-19 sebagai seseorang yang meninggal dalam waktu 28 hari setelah dites positif terkena virus tersebut. Namun, secara global, hampir setiap negara bergulat dengan cara menghitung kematian akibat Covid-19 dan angka resmi diyakini terlalu rendah. Pada Mei, WHO memperkirakan ada hampir 15 juta kematian akibat virus korona di seluruh dunia, lebih dari dua kali lipat dari jumlah resmi sebanyak enam juta.