REPUBLIKA.CO.ID, KABUL — Pemerintah pimpinan Taliban di Afghanistan melarang wanita mengikuti pendidikan jenjang universitas di seluruh negeri dan memberlakukan perintah tersebut dengan todongan senjata di beberapa tempat, mengabaikan kecaman global dan menimbulkan pukulan lain terhadap separuh hak penduduknya.
"Menurut keputusan kabinet, Anda semua diinstruksikan untuk segera melaksanakan perintah penangguhan pendidikan anak perempuan sampai pemberitahuan lebih lanjut," kata Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Neda Mohammad Nadeem, dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa. “Pastikan bahwa perintah dijalankan,” kata dia dilansir dari Alarabiya, Rabu (21/12/2022).
Seorang mahasiswi di Universitas swasta Kardan di Kabul, Tamana Aref mengatakan, dia datang ke universitas sekitar pukul 7 pagi.
Anak laki-laki diizinkan masuk sedangkan perempuan disuruh kembali ke rumah dengan sebuah todongan senjata.
“Anak laki-laki diizinkan masuk dan mereka menodongkan senjata ke arah kami dan menyuruh kami pulang,” kata Aref.
Harapan terakhir yang tersisa hilang dan hilang. Negara ini dibawa kembali ke tahun 1990-an yang ditakuti semua orang.
Menteri Nadeem, salah satu anggota Taliban yang paling konservatif baru-baru ini mengatakan pendidikan perempuan bukanlah tradisi Afghanistan, melainkan bagian dari budaya Barat yang dibawa ke negara itu selama kehadiran pasukan Amerika Serikat.
Pernyataan itu mengabaikan peran perempuan selama sebagian besar abad ke-20 di Afghanistan, membantu menyusun konstitusi negara, memenangkan hak untuk memilih, dan menjalankan bisnis.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengkritik keputusan tersebut dan mengatakan hal itu akan semakin memundurkan upaya Taliban untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan.
Baca juga: Eks Marinir yang Berniat Mengebom Masjid Tak Kuasa Bendung Hidayah, Ia pun Bersyahadat
“Pendidikan adalah hak asasi manusia,” kata Blinken dalam sebuah pernyataan Selasa malam, memperingatkan akan ada konsekuensi yang akan datang.
“Ini juga penting untuk pertumbuhan dan stabilitas ekonomi Afghanistan. Tidak ada negara yang dapat berkembang ketika setengah dari populasinya tertahan,” kata dia.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyatakan "waspada" tentang keputusan itu. Human Rights Watch menyebut langkah itu sebagai keputusan "memalukan", menambahkan bahwa "Taliban menegaskan setiap hari bahwa mereka tidak menghormati hak-hak dasar warga Afghanistan, terutama perempuan.