REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Butuh pengorbanan dan kesabaran bagi setiap orang yang menuntut ilmu. Seorang pencari ilmu harus menyadari bahwa untuk memperoleh ilmu dapat menghabiskan waktu yang panjang, menghabiskan materi dan tenaga, bahkan meninggalkan orang-orang terkasih.
Namun pengorbanan tersebut akan tergantikan dengan ilmu yang bermanfaat. Para wali dan orang-orang saleh bahkan rela meninggalkan kampung halamannya dan orang-orang yang dicintainya belasan hingga puluhan tahun untuk menuntut ilmu.
Seperti penyusun Maulid Simtu ad-Durar, Habib Ali Al-Habsyi melakukan perjalanan pada usia 17 tahun dari Hadramaut ke Makkah untuk menuntut ilmu kepada ayahnya yakni Habib Muhammad Al-Habsyi yang kala itu menjabat sebagai mufti di Makkah serta kepada ulama lainnya di tanah suci, Makkah.
Memang sejak usia tujuh tahun, Habib Ali telah ditinggal ayahnya yang hijrah ke Makkah. Habib Ali pun berada di bawah asuhan ibunya yaitu Syarifah Alawiyyah binti Husein Al-Jufri.
Setelah mendapatkan surat dari ayahnya di Makkah, Habib Ali mempersiapkan segala sesuatunya untuk melakukan perjalanan ke Makkah.
Sebenarnya berat bagi Habib Ali untuk berpisah dengan ibunya. Mereka pun menangis ketika membayangkan perjalanan yang akan dilakukan Habib Ali.
"Maka pada 1276, ia (Habib Ali Al-Habsyi) pergi ke Makkah bersama rombongan haji. Ia tinggal di Makkah dengan ayahnya selama dua tahun yang penuh berkah. Setelah itu ia kembali Seiwun sebagai seorang yang alim dan ahli dalam pendidikan," dikutip dalam Biografi Habib Ali Al-Habsyi, pengarang (muallif) Simtu ad-Durar yang disusun Habib Husein Anis Al-Habsyi dan diterbitkan Pustaka Zawiyah.
Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat
Habib Ali pun pergi dari Seiwun menuju Makkah. Rombongannya sempat singgah di Syihr. Diceritakan bahwa setiap hari dalam perjalanannya Habib Ali Al-Habsyi hanya makan pada siang dan malam dengan sepotong ikan yang dibelinya dengan uang satu umsut.
Sesampainya di Makkah, Habib Ali pun bertemu dengan ayahnya. Ayah Habib Ali pun melarangnya pulang ke Hadramaut hingga waktu yang telah ditentukan.
Bahkan selama menimba ilmu di Makkah, Habib Ali dilarang berkomunikasi dengan orang-orang yang datang dari Hadramaut.
Bahkan ketika habib Ali mendapatkan surat dari ibunya, ayahnya segera menyobeknya. Hal itu dilakukan agar kekhusyukan Habib Ali tidak tergoyahkan.
Setelah dua setengah tahun tinggal bersama ayahnya di Makkah. Habib Ali pun diperintahkan ayahnya untuk kembali ke Hadramaut untuk merayakan pernikahan saudaranya. Ketika memasuki Seiwun, semua penduduk keluar rumah menyambut kedatangannya.