REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai perlu ada pembaharuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Komnas HAM menyoal sinkronisasi aturan hingga bisa berada dalam satu naungan KUHAP.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menyebut hak atas ganti kerugian korban sesungguhnya sudah lengkap dalam aturan yang ada, khususnya di luar KUHAP. Namun dalam aturan-aturan itu terdapat perbedaan pengaturan baik terkait hak, rincian kerugian yang dapat dituntut, maupun prosedur.
"Oleh karena itu, saya menyimpulkan dalam rangka sempurnakan KUHAP perlu unifikasi proses agar lebih mudah dan sederhana, accessible," kata Semendawai dalam diskusi virtual mengenai KUHAP yang digelar ICJR pada Kamis (22/12).
Semendawai menyinggung pengaturan soal hak korban tergolong minim dalam KUHAP. Menurutnya, aturan di luar KUHAP justru mengatur lebih lengkap dan rinci mengenai hal tersebut.
"Pascareformasi prosedur ganti kerugian berkembang pesat, pertama kali diatur dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, termasuk UU nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan kompensasi diberikan negara karena pelaku nggak mampu," ujar Semendawai.
Semendawai menyebut Perma No. 1 Tahun 2022 patut dicontoh dalam revisi KUHAP. Perma itu mengatur pengadilan yang berwenang mengadili tindak pidana, kerugian apa yang dapat dituntut, kerugian lain sebagai akibat tindak pidana seperti biaya pengacara, biaya perjalanan. Aturan itu bahkan mengatur penitipan restitusi di kepaniteraan pengadilan dan hakim wajib memberitahu hak restitusi kepada korban.
"Seperti dilakukan Perma yang bisa jadi landasan ketentuannya. Yang penting KUHAP yang akan datang ambil alih prosedur terbaik dalam ganti kerugian," ujar Semendawai.
Semendawai juga menyebut aturan mesti memfasilitasi pemenuhan hak korban berdasarkan adat dan kebiasaan yang dipercaya di suatu daerah. "Mekanisme informal juga perlu seperti kebiasaan adat perlu digunakan kalau tepat untuk ganti rugi korban," sebut Semendawai.
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR akhirnya mencapai kata sepakat soal RKUHP hingga disahkan menjadi KUHP baru. Sedangkan Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengatakan berdasarkan kesepakatan informal antara Komisi III dengan Pemerintah Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan menjadi inisiatif DPR. DPR telah menerima masukan bagi bagi RUU KUHAP.