REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mendesak junta militer yang berkuasa di Myanmar untuk membebaskan semua tahanan politik, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan mantan presiden Win Myint. Hal ini dilayangkan dalam resolusi DK PBB pertama yang disahkan sejak kemerdekaan Myanmar hingga kudeta.
Resolusi tersebut termaktub dalam resolusi DK PBB 2669. "Resolusi DK PBB 2669 menyatakan keprihatinan yang mendalam atas keadaan darurat yang sedang berlangsung yang diberlakukan oleh militer," tulis resolusi tersebut dikutip laman CNN International, Kamis (22/12/2022).
Resolusi tersebut menekankan perlunya mengatasi beberapa masalah yang sudah berlangsung lama. Resolusi itu juga menyerukan bantuan kemanusiaan yang lebih besar bagi para korban kekerasan dengan penekanan pada perempuan, anak-anak dan pengungsi, termasuk Rohingya.
Resolusi baru disahkan hampir dua tahun setelah militer melakukan kudeta. Junta menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis dan menangkap para pemimpin sipil termasuk Suu Kyi. Massa memprotes junta yang dibalas dengan aksi kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Kebebasan dan hak-hak di Myanmar di bawah junta militer kemudian menjadi sangat memburuk. Eksekusi negara telah kembali dihidupkan.
Ribuan orang telah ditangkap karena memprotes kekuasaan militer, dan jumlah serangan kekerasan yang didokumentasikan oleh tentara di wilayah sipil, termasuk sekolah, telah melonjak, menurut organisasi non-pemerintah. Junta mengeklaim tengah memerangi apa yang disebutnya "teroris", dan berjanji akan kembali ke perdamaian.
Resolusi yang disahkan Rabu (21/12/2022) diusulkan oleh Inggris dan disahkan dengan 12 suara mendukung, tidak ada yang menentang. Sedangkan tiga abstain dari Cina, India, dan Rusia.
Suu Kyi saat ini ditahan di sel isolasi di sebuah penjara di ibu kota Naypyidaw dengan berbagai tuduhan. Hingga saat ini, mantan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian berusia 77 tahun itu telah dijatuhi hukuman 26 tahun penjara, termasuk tiga tahun kerja paksa.
Dalam sebuah pernyataan Rabu, Duta Besar Amerika Serikat (AS) Linda Thomas-Greenfield mengatakan, AS memuji DK PBB karena mengadopsi resolusi tersebut.
"Dengan resolusi ini, masyarakat internasional menuntut agar rezim militer Burma menghentikan kekerasannya yang mengerikan, segera membebaskan mereka yang ditahan secara sewenang-wenang, mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan, melindungi kelompok minoritas," katanya mengacu pada Myanmar dengan nama lamanya.
Direktur Asia di Human Rights Watch, Elaine Pearson mengatakan resolusi itu adalah langkah penting atas nama rakyat Myanmar, membuka pintu untuk meminta pertanggungjawaban para jenderal Myanmar yang brutal.
"Resolusi ini harus membawa pengawasan baru terhadap kekejaman harian junta dan pengakuan atas upaya berani rakyat Myanmar menuju demokrasi dan kebebasan," katanya.