Jumat 23 Dec 2022 21:29 WIB

Wartawan yang Ternyata Polisi, Seharusnya Diapakan?

Polisi menyamar menjadi wartawan, sanksi apa yang cocok untuknya?

Rep: oohya! I demi Indonesia/ Red: Partner
.
Foto: network /oohya! I demi Indonesia
.

Polisi yang menjadi wartawan itu selama 12 tahun menjadi kontributor TVRI Jawa Tengah (foto: dokumentasi republika).
Polisi yang menjadi wartawan itu selama 12 tahun menjadi kontributor TVRI Jawa Tengah (foto: dokumentasi republika).

tvri

Wartawan yang kemudian diketahui merupakan polisi aktif dipecat oleh organisasi profesi yang menaunginya. Polisi Umbaran tercatat sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Blora. PWI pun proaktif mengeluarkan sanksi pemecatan terhadap Umbaran setelah diketahui ia merupakan polisi yang menyamar sebagai wartawan.

Sepertinya ini kasus pertama polisi menjadi wartawan. Tapi untuk kasus lain, sempat ada politikus yang menjadi wartawan, sampai akhirnya perusahaan-perusahaan pers melarang wartawannya aktif sebagai politikus. Wartawan yang maju menjadi calon kepala daerah harus cuti. Jika terpilih menjadi kepala daerah, ia harus mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai wartawan. Kasus guru menjadi wartawan, dosen menjadi wartawan, tetap ada hingga kini.

Tapi di masa lalu, wartawan sekaligus politikus menjadi hal biasa. Haji Agus Salim adalah wartawan yang menjadi pengurus Sarekat Islam. Sempat menjadi anggota Volksraad, tetapi setelah tidak lagi menjadi anggota Volksraad ia akatif lagi sebagai wartawan. Ketika ia harus aktif lagi di kepengurusan Sarekat Islam pada 1926, ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai pemimpin redaksi Hindia Baroe. Urusan sehari-hari koran itu diserahkan kepada M Tabrani.

Pada 1930, M Tabrani juga menjadi politikus. Ia mendirikan partai, lalu mengelola majalah Reveu Politik. Tapi ketika mendapat tawaran menjadi pemimpin redaksi Pemandangan pada 1936, ia keluar dari partai dan fokus menjadi wartawan agar sebagai Ratu Dunia bisa bediri di semua golongan. Ratu Dunia adalah sebutan untuk wartawan saat itu.

Tapi pada 1938, ketika ia menjadi anggota Gemeenteraad van Batavia sebagai wakil dari kalangan buruh Jakarta, ia tetap menjadi wartawan. Ia sempat dituduh oleh koran-koran Belanda telah memanfaatkan posisinya sebagai wartawan itu untuk melambungkan namanya dengan banyak memuat pendapat dirinya di koran yang ia pimpin. Tapi Pemandangan menolak anggapan itu, sebab Pemandangan banyak mengutip Tabrani, sebab Tabrani memang sering banyak berpendapat di sidang-sidang Gemeenteraad dibandingkan anggota-anggota yang lain.

Ketika menjadi pemimpin redaksi Pemandangan itu, Tabrani sempat tersandung kasus dugaan pelanggaran kode etik wartawan, sehingga Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) menyidangnya. Itu terjadi ketika polisi Belanda menemukan klise surat pribadi Thamrin kepada Tabrani ditemukan di kantor redaksi Pemandangan. Adanya klise itu disebut mengindikan adanya rencana Tabrani menerbitkan surat pribadi itu untuk menyerang Thamrin.

Saat klise itu ditemukan, Tabrani sudah menjadi pejabat di Regeerings-Publicitets Dienst (RPD). Tapi kemudian Tabrani mengundurkan diri dari Perdi dengan alasan sebagai pejabat ia harus berdiri di atas semua organisasi wartawan. Saat itu, selain Perdi ada pula Wartawan Muslim Indonesia (Warmusi). Karenanya, Perdi tak bisa lagi menyidang Tabrani.

Kasus polisi Umbaran tentu berbeda dengan kasus Tabrani. Ini polisi merangkap menjadi wartawan, tetapi menutupi identitas polisinya. Bagi organisasi profesi, memang tidak ada tindakan lain selain tindakan maksimal mencabut keanggotaannya sebagai anggota organisasi dengan pertimbangan melanggar kode etik dan bekerja tidak profesional. Memberikan tindakan lebih dari itu justru bisa emncederai kebebasan pers.

Jika memang pelanggaran etik, kata dosen Jurnalistik Stikom Bandung yang pernah menjadi wartawan Deutsche Welle, Nusryawal, “Harus ada eksaminasi karya-karyanya. Jika peran dan tujuan jurnalistiknya tidak terpenuhi, meski kaidah diikuti, maka karya-karya itu harus diumumkan kepada publik sebagai bukan karya jurnalistik, lalu medianya meminta maaf dan jika masih memungkinkan, perbaiki (koreksi/ralat) beritanya. Tindakan di luar skema itu bisa berpotensi melanggar prinsip kemerdekaan pers.”

Tapi jika hasil eksaminasi karya memang membuktikan peran dan tujuan jurnalistiknya tidak terpenuhi, para narasumber bisa memidanakan atau memperdatakan Umbaran jika mereka mengalami kerugian akibat tindakan Umbaran. Persoalannya, seperti yang sudah diberitakan oleh berbagai media, TVRI Jawa Tengah telah menyatakan tidak kecolongan dengan adanya polisi yang menjadi kontributornya, karena karakternya sama, Republik Indonesia. Dalam hal ini TVRI memfasilitasi kegiatan kegiatan negara. Dengan pengakuan TVRI seperti ini, tentu susah menuntut pengujian terhadap karya-karya Umbaran.

Lalu apa manfaatnya polisi menugaankan aparatnya menjadi wartawan? Untuk mendalami praktik jurnalistik Indonesia agar bisa melakukan penanganan yang tepat jika ada pengaduan terhadap produk pers?

Priyantono Oemar

sumber : https://oohya.republika.co.id/posts/194137/wartawan-yang-ternyata-polisi-seharusnya-diapakan-
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement