REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jimly School of Law and Government (JSLG) menyoroti kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). JSLG mendukung upaya perbaikan MA guna mencegah terulangnya kasus serupa.
Direktur JSLG Muhammad Muslih menegaskan, MA mesti memperbaiki sistem di internalnya. Menurutnya, sistem harus diperkuat guna mencegah bertemunya Hakim Agung dan pegawai MA dengan pihak yang berperkara.
"Dalam konteks manajemen di internal MA bahwa kemudian perbaikannya harus sistem. Ini sudah dibicarakan lama, hakim nggak ketemu para pihak, daftar perkaranya online," kata Muslih dalam konferensi pers catatan akhir tahun JSLG pada Jumat (23/12).
"Melakukan reformasi secara komprehensif di Mahkamah Agung, baik sumber daya yang ada, sistem manajerial, sistem pengawasan, dan kepemimpinan," lanjut Muslih.
Muslih mendukung rencana terbaru MA yang akan menyiarkan sidang kasasi secara langsung. Sebab selama ini sidang di MA yang bersifat judex jurist berada di ruang gelap yang tak bisa diakses masyarakat. MA ingin membuka seluasnya akses terhadap putusan kasasi guna menghindari mafia kasus.
"Proses kasasi sangat tertutup karena sidangnya nggak di tingkat pertama, dalam kasasi kalau kemudian bisa transparan,akuntabel, mudah diakses itu akan lebih bagus untuk melihat proses sidangnya di kasasi," ujar Muslih.
Di sisi lain, Muslih mengamati, ada maksud tersendiri atas OTT terhadap Hakim Agung dkk. Dia menduga, ada niatan politis di balik upaya pemberantasan korupsi di lembaga peradilan.
"OTT terhadap Hakim Agung lihat ada tanda-tanda nggak cuma hakim lakukan kesalahan, ada politisasi dalam lembaga peradilan. Hari ini sedang bekerja oligarki kekuasaan untuk pengaruhi dunia peradilan," ucap Muslih.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan 10 tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Enam tersangka selaku penerima suap ialah Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (SD), Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS Kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua PNS MA Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
Sementara itu, empat tersangka selaku pemberi suap yaitu dua pengacara, yakni Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES), serta dua pihak swasta/debitur KSP Intidana. Yakni Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Setelah dilakukan pengembangan penyidikan perkara tersebut, KPK juga menetapkan tiga tersangka lain, yaitu Hakim Agung Gazalba Saleh, Prasetio Nugroho (PN) selaku Hakim Yustisial/Penitera Pengganti pada Kamar Pidana dan asisten Gazalba, serta Redhy Novarisza (RN) selaku staf Gazalba.