REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Era Fotografi digital telah mengubah lansekap fotografi secara keseluruhan. Proses memotret (dan perkembangan) teknologi fotografi pun bergerak dengan cepat. Fotografi analog yang menjadi pijakan teknologi fotografi digital telah ditinggal menjadi sejarah masa lalu.
Proses pemotretan analog yang memakan banyak waktu dan tahapan kerja tetap memiliki penggemar fanatiknya tersendiri. Pun ketika pandemi menyergap.
Meski cenderung menurut dalam dua-tiga tahun terakhir, aktivitas penggemar fotografi analog masih tetap menggeliat. Uniknya penggemar fotografi kamera film ini didominasi Generasi Z yang ingin merasakan sensasi memotret menggunakan rol film.
Hal ini diaminkan oleh Izul pemilik toko kamera analog di Hallway Pasar Kosambi. "Tren ini muncul karena penggemar fotografi anak muda sekarang, ingin merasakan susahnya memotret seperti jaman dulu," ujarnya saat ditemui di Analog Bazaar di Hallway Pasar Kosambi, Sabtu (24/12/2022).
Fenomena ini ditandai dengan kembali lakunya kamera-kamera analog jenis point and shoot alias kamera saku. "(Kamera) yang laku biasanya jenis point and shot. Yang murah, yang nggak mesti dipikirin motretnya gimana," tambah Izul.
Kondisi ini beriringan dengan ramainya kembali jasa proses film negatif yang dulu dikenal dengan sebutan jasa cuci cetak foto. Pemilik jasa proses rol film negatif Hipercat, Sani seakan mengaminkan fenomena ini. "Kebanyakan yang memproses di Hipercat adalah orang baru (yang mencoba fotografi analog," ujar Sani tempat yang sama.
Fenomena orang baru di bidang fotografi analog ini yang justru menggerakan roda bisnis jasa proses rol film negatif. Fotografi analog kini memang bukan barang murah. Harga satu rol film negatif format 135mm ASA 200 dengan isi 36 exposure dijual dengan harga 100 - 200 ribu rupiah. Ini belum termasuk ongkos proses dan scan film di rentang Rp 40-60 ribu.
Tingginya harga rol film dan biaya proses tidak menyurutkan minat penggemar fotografi analog. Sebut saja mahasiswa semester 3 jurusan Fotograti Universitas Pasundan, Nabil Alqatiri.
"(Awalnya saya mengenal fotografi analog) ada matakuliah Kamar Gelap. Jadi belajar cara nyuci (film) dan jadi penasaran pengen coba main (motret menggunakan) film," ujar pengguna Nikon F3 Titanium ini.
Hal sedikit berbeda disampaikan mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Bandung, Dimas Rachmatsyah. "Dulu Saya sering diajak ayah saya memotret. Sekarang tertarik ke analog karena inget (jaman) dulu jaman almarhum ayah memotret, ujar Dimas.
Booming kamera digital pada awal tahun 2000an hingga kini tidak serta merta mematikan fotografi analog. Beberapa artefak fotografi analog berupa lensa-lensa kamera analog masih hidup, digunakan pada kamera-kamera digital.
Tidak hanya itu, fotografi analog pun masih tetap hidup di antara penggemarnya. Bahkan baru-baru ini produsen kamera kenamaan Leica merilis ulang salah satu kamera analog ikoniknya Leica M6.
Ya, di tengah gempuran berbagai jenis kamera digital, Leica justru memproduksi kembali kamera analog format 135mm. Proses memasang rol film, mengokang, mengatur fokus, mengatur pencahaayaan hingga menekan tombol rana dilakukan secara manual. Namun segala kerepotan yang harus dilakukan ini memberikan kenikmatan tersendiri bagi penggemarnya.