REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Abu Hanifah merupakan sahabat Nabi yang lahir di Kufah, Irak, pada 80 Hijriyah/699 M dan wafat di Baghdad, Irak, pada 148 H/767 M. Imam Abu Hanifah yang terlahir dengan nama Nu’man bin Tsabit ini tergolong generasi tabi’in dan sempat bertemu dengan sejumlah sahabat terkemuka Rasulullah.
Imam Abu Hanifah berguru fiqih kepada Hammad bin Sulaiman. Ia juga berguru kepada ulama-ulama di generasi tabi’in, antara lain Atha bin Abi Rabah dan Nafi, budak Ibnu Umar. Ia selesai menghafal Alquran dan ribuan hadits sejak belia.
Yang perlu diingat, Irak di zamannya merupakan pusat gerakan dan perubahan sosial-politik Islam. Imam Abu Hanifah mengalami peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah.
Ia pernah berurusan dengan penguasa ketika Gubernur Irak sebelum Marwan bin Muhammad, Yazid bin Hubairah, menawarkan jabatan hakim kepadanya. Ia menolak tawaran tersebut.
Dikutip di laman resmi PBNU, Senin (26/12/2022), Imam Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang sangat berpengaruh dalam kajian fiqih Islam hingga hari ini. Pengikutnya banyak tersebar di pelbagai belahan dunia, terutama di Afghanistan. Keilmuannya yang begitu dalam menempatkannya ke dalam maqam mujtahid.
Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah, memasukkan nama Imam Abu Hanifah ke dalam jajaran nama mufti di Kota Kufah. Mereka adalah Hammad bin Abu Sulaiman, Sulaiman bin Muktamar, Sulaiman Al-A’masy, Mis’ar bin Kidam, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Abdullah bin Syabramah, Said bin Asyu’, Syuraik Al-Qadhi, Qasim bin Ma’an, Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. (Ali Jumah, Shina’atul Fatwa, [Mesir, Nahdhatu Mishr: 2008 M], halaman 29).
Keilmuan Imam Abu Hanifah diakui masyarakat dari berbagai lapisan, terutama kalangan ulama di zamannya. Dengan kealimannya itu, ia sanggup menjawab puluhan masalah baru yang belum pernah dihadapi fuqaha sebelumnya.
Penulis Kitab I’anathut Thalibin, Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha, menceritakan Imam Abu Hanifah dari segi kesalehan di awal karyanya. Ia menyebut Imam Abu Hanifah sebagai orang yang ahli ibadah, zuhud, dan ahli makrifat.
As-Sayyid bin Umar menceritakan pendiri Mazhab Hanafi ini pernah sholat subuh dengan wudhu yang dipakai untuk shalat isya di awal malam. Hal ini dijalaninya selama 40 tahun. (Sayyid Bakri, I’anathut Thalibin, [Mesir, Daru Ihya’il Kutubil Arabiyah: tanpa tahun], juz I, halaman 17).
Sebuah riwayat mengisahkan suatu isya ia mendengar seseorang imam membaca surat Az-Zalzalah dalam sholat berjamaah. Karena sangat khusyuk dan sedihnya, ia memegang jenggot hingga terbit fajar (subuh).
Sambil meneteskan air mata, ia mengatakan, “Kita akan dibalas kelak atas amal meski sebesar zarrah.” (Bakri, tanpa tahun: I/17). Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha yang bermazhab Syafi’iyah ini mendoakan Imam Abu Hanifah agar dilimpahkan rahmat dan ridha Allah.