REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Riya adalah perilaku berbahaya yang telah diperingatkan baik dalam Alquran maupun hadits.
Larangan berbuat riya disebutkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 264 yaitu sebagai berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Sedangkan dalam hadits, Nabi Muhammad SAW khawatir pada umatnya dan mewanti-wanti untuk menjauhi riya.
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر. قالوا: وما الشرك الأصغر يا رسول الله؟ قال: الرياء "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’." (HR Ahmad).
Lalu bagaimana agar seorang Muslim jauh dari perilaku riya? Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, sadari bahwa amal shaleh yang dilakukan itu adalah untuk dipandang Allah SWT dan bukan untuk mendapat perhatian dari makhluk-Nya. Sebab, tidak ada manfaat sedikit pun ketika berharap mendapat pujian atau pengakuan dari manusia.
Ulama Al-Fudhail bin 'Iyadh telah mengingatkan, "Beramal (berbuat baik) demi manusia adalah syirik, dan meninggalkan amal (kebaikan) demi manusia adalah kemunafikan. Dengan ikhlas, Allah akan menyembuhkanmu dari keduanya."
Kedua, menganggap bahwa amal shaleh yang dikerjakan secara terbuka dan tersembunyi adalah sama. Dengan menganggapnya setingkat atau sama, maka tidak menimbulkan kesenjangan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada amal shaleh yang dikerjakan secara terbuka maupun tersembunyi.
Jangan sampai amal saleh yang dikerjakan secara terbuka menjadi manis, dan jangan sampai amal shaleh yang dilakukan secara tersembunyi menjadi pahit.
Ketiga, menganggap bahwa pujian dan celaan yang datang dari manusia adalah sama saja di sisi Allah SWT.
Artinya, pujian atau celaan yang datang itu jangan sampai membuat seorang Muslim berpaling dari tujuannya untuk meraih ridha Allah SWT.
Seseorang jika memang terpuji di mata Allah SWT maka tidak harus dicela oleh manusia. Begitu pun sebaliknya, seseorang jika memang tercela tidak harus berusaha agar mendapat sanjungan dari manusia.
Keempat, tidak lagi memperhatikan atau mengingat-ingat kembali amal saleh yang telah dikerjakannya.
Baca juga: 7 Fakta Seputar Dajjal dan 6 Amalan yang Dianjurkan untuk Menghadapinya
Terkadang ada orang yang berbuat amal shaleh namun dia sibuk mengingat kebaikan dan keikhlasannya sehingga yang terjadi adalah rasa kagum pada diri sendiri. Inilah yang merusak amal shalehnya.
Ulama sufi Syekh Abu Bakar Ad-Daqqaq, berkata, "Kelemahan orang yang ikhlas adalah ketika memperhatikan keikhlasannya." Dengan kata lain, yang terjadi ialah keikhlasan mereka membutuhkan keikhlasan.
Padahal, sebagaimana disampaikan ulama sufi lain, Abu Utsman al-Maghribi, keikhlasan adalah bagian dari jiwa dalam keadaan apapun. Ini adalah keikhlasan bagi orang awam.
Keikhlasan pada tingkat yang lebih tinggi adalah ketika seseorang memang sudah menjadi keikhlasan itu sendiri. Artinya, keikhlasan bukan bagian pada diri seseorang, tetapi seseorang itulah yang merupakan keikhlasan, yang kemudian berdampak pada berbagai bentuk ketaatan.
Tidak lagi berpikir atau melihat perbuatan baik yang telah dilakukannya, agar terjerumus dalam amal saleh itu.
Yang dipandang hanyalah Allah SWT yang telah membuat dirinya ikhlas pada agama, sehingga mereka pun mengabdikan agamanya kepada Allah SWT.
Sumber: islamonline