REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT – Umat Kristen di Gaza harus melewati banyak hambatan untuk dapat merayakan Natal karena adanya pembatasan ilegal yang diterapkan Israel.
Pembatasan ilegal yang tidak berujung dan tidak terbatas ini diberlakukan kepada penduduk daerah kantong pantai yang terkepung itu.
Secara resmi, umat Kristiani memulai perayaan mereka pada 25 Desember setiap tahun hingga 7 Januari berdasarkan hari raya keagamaan yang sakral dan budaya di seluruh dunia.
Selama 2000 tahun, orang Kristen di seluruh dunia telah mengisinya dengan tradisi dan praktik keagamaan, terutama dengan berziarah ke kota Bethlehem di mana diyakini Yesus Kristus dilahirkan, dibesarkan di Nazareth, dan meninggal di Yerusalem.
Pada hari-hari raya, orang-orang Kristen biasa berpartisipasi dalam perayaan umum dan publik di Betlehem, mengunjungi gereja-gereja kota untuk berdoa dan berjalan di jalan-jalan umum, terutama yang bersejarah untuk mengingat sejarah agama mereka.
Namun, Elias al-Jelda, seorang Kristen yang berbasis di Gaza, dipaksa untuk menghadiri beberapa perayaan Kristen di Betlehem secara virtual melalui panggilan video yang terhubung dengan putranya di daerah tersebut. Hal ini karena Israel menerapkan pembatasan kepada mereka.
"Sayangnya, pendudukan Israel bersikeras memaksakan pembatasan yang tidak dapat diterima pada kami hanya karena kami tinggal di Gaza. Israel mencegah lusinan orang Kristen untuk bergabung dengan kerabat dan orang yang dicintai untuk merayakan hari raya mereka," kata pejabat berusia 54 tahun di Gereja Ortodoks, dilansir The New Arab, Senin (26/12/2022).
Elias termasuk di antara 382 orang Kristen lainnya yang ditolak izin Israel untuk mengunjungi Betlehem selama Natal, dengan dalih karena alasan keamanan.
Gereja Latin Deir di Gaza mengonfirmasi bahwa sekitar 1.000 orang telah mengajukan izin untuk mencapai Tepi Barat, tetapi hanya 518 dari mereka yang diberikan izin dan sebagian besar izin ini dikeluarkan untuk orang yang telah meninggal atau migran.
Samer Tarazi, seorang Kristen lain yang berbasis di Gaza, juga hanya dapat menonton perayaan di Betlehem melalui ponsel yang direkam oleh istri dan putranya yang berada di Betlehem.
Dia menyebut, selama lebih dari sembilan tahun, ayah dua anak berusia 45 tahun itu telah mengajukan izin merayakan Natal di Betlehem tetapi semuanya ditolak. "Petugas mengatakan kepada saya bahwa penolakan itu karena larangan keamanan," jelasnya.
"Baik saya maupun orang Kristen lainnya di Gaza tidak dapat mengancam Israel. Israel adalah pembohong dan mereka ingin kami meninggalkan rumah dan tanah kami di sini dan bermigrasi ke negara lain," tegasnya.
Tahun demi tahun, Tarazi menekankan, Israel memperketat prosedurnya. "Ada lusinan orang Kristen yang mendapatkan izin tetapi tidak jadi pergi ke Betlehem untuk menikmati waktu bersama kerabat mereka karena larangan Israel," terangnya.
Pada 2007, Israel memberlakukan blokade ketat di wilayah itu, rumah bagi lebih dari 2,3 juta orang, setelah Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) secara paksa menguasainya.
Saat itu, sekitar 3.500 orang Kristen tinggal di Gaza, tetapi sekarang hanya tinggal 1.000 dari mereka yang masih tinggal di daerah tersebut. Beberapa dari mereka berimigrasi ke negara-negara Arab dan Barat, dan yang lainnya pindah untuk tinggal di Tepi Barat karena kesulitan hidup dan kondisi di daerah kantong pantai.
Kasus berbeda dialami Salma Saba, seorang wanita Kristen yang tinggal di Gaza. Dia memperoleh izin untuk pergi ke Betlehem tetapi suami dan putranya tidak mendapat izin dari Israel.
"Saya mendapat izin, tetapi baik suami maupun putra saya tidak mendapat izin, jadi saya memutuskan untuk tidak meninggalkan Gaza dan tinggal bersama mereka di sini. Ini adalah prosedur ilegal yang memalukan. Israel sengaja mengeluarkan izin hanya untuk satu atau dua anggota keluarga saya setiap tahun," ucapnya.