REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Saleh Raafat, pada Ahad (25/12/2022) menyerukan boikot internasional terhadap pemerintah baru Israel. Berbicara kepada Palestine Voice, Raafat mengatakan, kesepakatan di antara pihak-pihak yang mengambil bagian dalam pemerintahan koalisi baru Israel didasarkan pada apartheid dan diskriminasi.
"Strategi pemerintah baru Israel didasarkan pada lebih banyak tindakan keras dan terorisme terhadap rakyat Palestina, ini membuat persatuan nasional menjadi darurat lebih dari sebelumnya," ujar Rafat, dilaporkan Middle East Monitor, Senin (26/12/2022).
Raafat memperingatkan, pemerintahan Israel mendatang pembentukan komite kementerian baru yang khusus membangun dan memperluas permukiman di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dia menggambarkan pemerintahan baru Israel sebagai "pemerintahan pemukim" karena memilih menteri yang tinggal di pemukiman Yahudi. Sebelumnya, Otoritas Palestina, faksi Fatah dan Presiden PLO Mahmoud Abbas menyebut slogan pemerintahan baru Israel adalah "apartheid dan diskriminasi ras."
Baca juga : Oman Kriminalkan Hubungan dengan Israel, Perluas Undang-Undang Boikot
Perdana Menteri terpilih Benjamin Netanyahu pada Rabu (21/12/2022) malam mengumumkan bahwa dia telah berhasil membentuk koalisi baru. Netanyahu menyampaikan pengumuman itu melalui panggilan telepon ke Presiden Isaac Herzog sebelum batas waktu tengah malam. Partai Likud merilis video singkat Netanyahu yang tersenyum dan rekaman percakapan tersebut.
"Saya ingin mengumumkan kepada Anda bahwa berkat dukungan publik yang luar biasa yang kami terima dalam pemilu, saya telah berhasil membentuk pemerintahan yang akan menjaga semua warga Israel," kata Netanyahu.
Netanyahu berhasil membentuk pemerintahan setelah negosiasi yang alot selama berminggu-minggu negosiasi dengan para mitranya. Netanyahu masih harus menyelesaikan kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Partai Likud. Kendati demikian, Netanyahu mengatakan, kesepakatan pembagian kekuasaan akan rampung pada pekan depan. Namun hingga kini tanggal pengambilan sumpah jabatan Netanyahu belum diumumkan.
Netanyahu menghadapi tugas yang sulit di depan. Dia akan memimpin koalisi yang didominasi oleh mitra sayap kanan dan ultra-Ortodoks yang mendorong perubahan dramatis dan dapat mengasingkan sebagian besar masyarakat Israel. Hal ini meningkatkan risiko konflik dengan Palestina dan menempatkan Israel pada jalur konflik dengan beberapa sekutu terdekatnya termasuk Amerika Serikat dan komunitas Yahudi Amerika.
Baca juga : Seribu Veteran AU Israel Kompak Sebut Pemerintahan Baru Netanyahu Berbahaya
Netanyahu telah mencapai kesepakatan dengan beberapa tokoh paling kontroversial dalam politik Israel. Salah satunya Itamar Ben-Gvir, yang pernah dihukum karena menghasut rasisme dan mendukung organisasi teroris. Netanyahu menangkat Ben-Gvir menjadi menteri keamanan yang akan menempatkannya sebagai penanggung jawab kepolisian nasional.
Tokoh kontroversial lainnya yang masuk ke dalam jajaran kabinet Netanyahu adalah Bezalel Smotrich. Dia merupakan seorang pemimpin pemukim Tepi Barat yang percaya bahwa Israel harus mencaplok wilayah Palestina yang diduduki. Smotrich menjabat sebagai menteri keuangan dan memegang otoritas luas atas pembangunan pemukiman di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Tokoh sayap kanan lainnya yaitu Avi Maoz. Dia adalah kepala faksi kecil agama anti-LGBTQ. Maoz dipercaya untuk mengatur sistem pendidikan nasional Israel dan wakil menteri yang bertanggung jawab atas "identitas Yahudi". Maoz secara terbuka memusuhi aliran Yudaisme liberal yang populer di Amerika Serikat.
Dalam pemilihan 1 November, Netanyahu dan sekutunya merebut mayoritas 64 kursi di Knesset yang beranggotakan 120 orang. Netanyahu berjanji untuk segera membentuk koalisi. Tetapi proses membentuk koalisi itu tidak mudah, karena kelompok ultra-Ortodoks dan sayap kanan menuntut jaminan tegas atas ruang lingkup kekuasaan mereka.
Baca juga : Erdogan: Cristiano Ronaldo Dicadangkan karena Dukung Palestina
Sebelum pemerintah baru mengambil sumpah, Netanyahu mendorong parlemen meloloskan undang-undang baru yang diperlukan untuk memperluas otoritas Ben-Gvir, dan menciptakan posisi menteri baru yang memberikan kekuasaan kepada Smotrich di Tepi Barat. Pada masa lalu, posisi ini dipegang oleh menteri pertahanan.
Parlemen juga akan menyetujui undang-undang yang memungkinkan Aryeh Deri menjabat sebagai menteri pemerintah meski sedang menjalani masa percobaan hukuman atas pelanggaran pajak. Deri merupakan seorang politisi veteran yang pernah menjalani hukuman penjara dalam kasus suap.
Sementara itu, kelompok ultra-Ortodoks menginginkan peningkatan subsidi untuk sistem pendidikan otonom mereka. Hal ini telah menuai kritik karena mereka berfokus pada studi agama dan memberikan sedikit keterampilan kepada siswanya untuk dunia kerja. Sedangkan anggota parlemen Likud telah bersaing untuk mendapatkan koleksi penugasan yang berkurang, setelah Netanyahu memberikan banyak pekerjaan penting kepada mitra pemerintahannya.