Kamis 29 Dec 2022 16:06 WIB

AS Setujui Penjualan Sistem Ranjau Anti-Tank Volcano ke Taiwan

Penjualan sistem peletakan ranjau itu bernilai 189 juta dolar AS.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menyetujui kemungkinan penjualan sistem peletakan ranjau anti-tank Volcano ke Taiwan dengan harga sekitar 180 juta dolar AS.
Foto: AP/Russian Defense Ministry Press S
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menyetujui kemungkinan penjualan sistem peletakan ranjau anti-tank Volcano ke Taiwan dengan harga sekitar 180 juta dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menyetujui kemungkinan penjualan sistem peletakan ranjau anti-tank Volcano ke Taiwan dengan harga sekitar 180 juta dolar AS. Hal itu diungkap Kementerian Pertahanan AS dalam sebuah keterangan yang dirilis Rabu (28/12/2022).

Northrop Grumman dan Oshkosh Corporation adalah kontraktor utama untuk potensi penjualan ranjau anti-tank Volcano ke Taiwan. Undang-undang AS mewajibkan cabang eksekutif untuk memberi tahu Kongres tentang potensi penjualan senjata yang melebihi jumlah tertentu. Namun pemberitahuan ini biasanya tidak dibuat kecuali anggota parlemen telah memberikan persetujuan informal kepada Departemen Luar Negeri AS dan Pentagon untuk bergerak maju.

Baca Juga

Kementerian Pertahanan Taiwan mengungkapkan, penjualan sistem ranjau anti-tank Volcano akan berlaku sekitar satu bulan. Menurut mereka, kepemilikan sistem itu bakal meningkatkan kapasitas “perang asimetris” Taiwan untuk membuat pasukannya lebih gesit.

“Kegiatan militer Partai Komunis China yang sering dilakukan di dekat Taiwan telah menimbulkan ancaman militer yang parah kepada kami,” kata Kementerian Pertahanan Taiwan seraya menambahkan bahwa penjualan militer AS yang berkelanjutan adalah “landasan menjaga stabilitas dan perdamaian regional”.

Meski tak memiliki hubungan diplomatik resmi, AS merupakan pendukung internasional terkuat Taiwan. Washington juga pemasok utama persenjataan militer Taipei. Relasi AS-Taiwan itu telah memicu kemarahan China. Beijing memandang AS melakukan intervensi mencolok dalam urusan domestiknya. Hal itu karena China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Taiwan telah menjadi salah satu isu yang meruncingkan hubungan AS-China.

Pada Rabu lalu, China mengkritik keputusan Taiwan memperpanjang masa wajib militer bagi warganya dari empat bulan menjadi satu tahun. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan, dengan memperpanjang masa wajib militer, Taiwan telah menggunakan rakyatnya sebagai "umpan meriam". 

“Berjuang untuk tugas besar mencapai reunifikasi nasional sangat signifikan, mati untuk kegiatan separatis kemerdekaan Taiwan sama sekali tidak berharga. Kami percaya warga Taiwan sangat berprinsip, mereka tidak akan dijadikan umpan meriam oleh pasukan separatis kemerdekaan Taiwan," ucap Wang dalam konferensi pers reguler Rabu lalu. 

Pada Selasa (27/12/2022) lalu, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengumumkan bahwa Taiwan akan memperpanjang masa wajib militer bagi warganya dari empat bulan menjadi satu tahun mulai 2024. Peserta wajib militer bakal menjalani pelatihan lebih intensif, termasuk latihan menembak. Mereka pun akan belajar mengoperasikan senjata berat, seperti rudal anti-pesawat Stinger dan rudal anti-tank.

Menurut Kementerian Pertahanan Taiwan, nantinya para peserta wajib militer akan ditugaskan menjaga infrastruktur militer utama. Dengan demikian, pasukan regular Taiwan dapat merespons lebih cepat jika terdapat serangan dari China.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement