REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Muhbin Abdul Wahab
Hati manusia itu beragam. Ada yang terbuka dan mudah menerima hidayah Islam. Ada pula hati yang bimbang, mudah terpengaruh lingkungan sekitar, dan berpacu antara tobat dan kumat.
Ada juga hati yang tertutup, bahkan terkunci mati sehingga sulit menerima kebenaran, sekalipun berasal dari Allah SWT. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam menyentuh dan membuka hati.
Saat menyampaikan dakwah di bukit Shafa di hadapan khalayak, tiba-tiba Abu Jahal datang menghampiri dan memaki-maki beliau. Tidak cukup dengan itu, ia juga melukai muka Rasulullah hingga berdarah. Akan tetapi, Rasulullah diam, tidak membalas sama sekali.
Kabar buruk itu didengar oleh Hamzah, paman Nabi, yang ketika itu belum masuk Islam. Atas nama harga diri dan kehormatan keluarga, Hamzah pun segera 'mengasah' kapaknya lalu menemui Abu Jahal untuk membalaskan dendam atas perlakuan kasar kepada Nabi.
Tanpa banyak bicara, begitu tiba di tempat Abu Jahal, Hamzah langsung menyabetkan kapaknya pada muka Abu Jahal sehingga berdarah. Hamzah lalu menemui Nabi dan menceritakan 'balas dendamnya' itu.
Namun, Nabi meresponsnya dengan mengatakan, ''Aku tidak suka engkau membalas kekerasan dengan kekerasan.''
''Lalu, apa yang engkau inginkan dariku?''
''Aku ingin engkau damai dengan memeluk Islam,'' pinta Nabi dengan tersenyum kepada pamannya. Sejak itulah (tahun keenam kenabian), Hamzah resmi menjadi pengikut dan pendukung setia Nabi.
Kisah tersebut sarat dengan dimensi kecerdasan nurani. Meski dikasari, Nabi tidak sakit hati, sekaligus tidak melampiaskan emosi. Pamannya membalaskan caci maki dengan kekerasan, Nabi malah tidak merestui. Pembuka hati Hamzah adalah nilai-nilai damai dalam Islam.
Dalam bergaul dan bermasyarakat, Nabi selalu mengedepankan pentingnya berdialog dengan hati. Setidaknya ada empat pembuka hati yang diteladankan Nabi.
Pertama, murah senyum dan ramah. Nabi selalu memperlihatkan wajah yang ramah, gaul, dan penuh senyum keakraban di hadapan siapa pun. Senyum yang tulus merupakan cerminan hati yang suci. Hati yang suci pasti hanya mengeluarkan kata-kata bijak dan mulia.
Kedua, memberikan salam dan hormat (apresiasi). Nabi selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Salam adalah doa sekaligus komitmen berdamai dan berharmoni.
Ketiga, saling mengunjungi dan bersilaturahim. Nabi adalah figur yang paling peduli terhadap umatnya. Beliau rajin mendatangi rumah sahabatnya walaupun hanya sekadar menanyakan kabar.
Keempat, bersikap toleran dan kebesaran jiwa (samahah). Beliau tidak mudah sakit hati. Dalam menghadapi perlakuan tidak baik dari siapa pun, beliau mengedepankan perdamaian, tidak menyimpan rasa dendam, bahkan bersedia memaafkan.
Sudah semestinya kita mengembangkan nilai-nilai pembuka hati tersebut menjadi sikap dan amalan. Kita juga mendambakan pemimpin yang memiliki kecerdasan dalam membuka hati, seperti teladan Nabi.