Hampir Semua Sungai di Indonesia Terpapar Mikroplastik
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) memperlihatkan sampah plastik medis yang tidak dikelola dengan baik dan dibuang sembarangan hingga mengalir ke sungai di kawasan Ujung Pancu, Aceh Besar, Aceh, Kamis (2/6/2022). Tim ESN menemukan kandungan chlorine, fosfat dan logam berat yang melebihi kapasitas serta mikroplastik pada penelitian dan deteksi kesehatah di Krueng (sungai) Aceh dan beberapa sungai lainnya di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. | Foto: ANTARA/Irwansyah Putra
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Hampir semua sungai di Indonesia terpapar mikroplastik berdasarkan data Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022. Dari sejumlah sungai yang diteliti, hanya Sumber Air Way Sekampung dan hulu air Bengkulu di Desa Rindu Hati tidak ditemukan mikroplastik.
Peneliti Ecoton, Rafika Aprilianti menjelaskan, mikroplastik dalam air sungai akan mengancam kesehatan manusia. Hal ini karena 84 persen bahan baku air minum penduduk Indonesia berasal dari air permukaan.
"Sebab itu, dibutuhkan upaya pengendalian sumber mikroplastik yang dibuang ke sungai berasal dari sampah plastik dan limbah industri terutama pabrik kertas dan tekstil," kata Rafika saat dikonfirmasi, Jumat (30/12/2022).
Menurut Rafika, sampah plastik di Indonesia termasuk salah satu permasalahan lingkungan yang sering menjadi perhatian khalayak. Hal ini terbukti ditemukannya partikel mikroplastik dari beberapa komponen kehidupan mulai dari air, udara, dan ikan.
Bahkan mikroplastik telah teridentifikasi dalam darah, ASI, dan paru-paru manusia. Permasalahan tersebut nyatanya belum menghentikan kegiatan produksi plastik.
Sebab, masalah tersebut sampai saat ini masih tetap berjalan bahkan muncul masalah lain Waste to Energy (WTE). Dengan kata lain, mengubah sampah plastik menjadi energi tetapi hal tersebut dapat melepaskan mikroplastik beserta bahan racun plastik ke lingkungan.
Data Tim ESN (ESN) 2022 yang menguji kandungan mikroplastik di 68 sungai strategis nasional menunjukkan lima provinsi yang paling tinggi terhadap kontaminasi partikel mikroplastik. Rinciannya, yakni Provinsi Jawa Timur (Jatim) ditemukan 6,36 partikel per liter, Provinsi Sumatera Utara ditemukan 5,20 partikel per liter.
Kemudian, Provinsi Sumatra Barat ditemukan 5,08 partikel per liter, Provinsi Bangka Belitung 4,97 partikel per liter, dan Provinsi Sulawesi Tengah 4,17 partikel per liter.
Kontaminasi mikroplastik di sungai Indonesia pada 2022 didominasi oleh fiber sebesar 49.20 persen. Bahan ini bersumber dari degradasi kain sintetik akibat kegiatan rumah tangga pencucian kain dan limbah industri tekstil.
Fiber juga disebabkan oleh sampah kain yang tercecer di lingkungan yang terdegradasi karena proses alam. Selain itu, kandungan filamen sebesar 25.60 persen juga truut mendominasi masalah mikroplastik.
Kandungan tersebut berasal dari degradasi sampah plastik sekali pakai. "Seperti kresek, botol plastik, kemasan plastik single layer atau SL dan jaring nelayan," jelasnya.
Selain itu, juga terdapat kandungan fragmen sebesar 18.60 persen. Kandungan ibu berasal dari deradasi sampah plastik sekali pakai dari jenis kemasan saset multilayer (ML). Kemudian juga dari tutup botol, botol shampo, dan sabun.
Rafika menilai masalah tersebut bisa terjadi lantaran tata kelola sampah di Indonesia belum merata. Hal ini berdasarkan data Kementrian PUPR 2020 yang dikelola oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
Kemudian juga diakibatkan regulasi terkait tata kelola sampah di level daerah masih minim. Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 45 persen yang sudah memiliki Perda Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan.
Sementara itu, Presiden RI Jokowi sendiri telah meminta pengelolaan sampah harus menjadi program penting dibuat terpadu dan sistemik. Dengan kata lain, harus ada keterlibatan masyarakat dan swasta serta sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Untuk diketahui, saat ini pengelolaan sampah masih dilakukan dengan tradisional memakai pola land field. Presiden Jokowi mengatakan, pola ini sangat berbahaya karena hanya buang, angkut dan timbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Selain itu, pemanfaatan sampah saat ini masih sangat kecil, hanya sekitar 7,5 persen dari total sampah yang menumpuk setiap hari. Melihat masalah tersebut, Rafika berpendapat, sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah segera membuat kebijakan.
Kemudian juga menyusun strategi untuk menyelesaikan masalah persampahan dan tata kelola sampah di Indonesia. Dengan demikian, sampah plastik tidak bocor ke lingkungan yang menjadi cikal bakal mikroplastik.
Menurut Rafika, pemerintah sudah saatnya membuat baku mutu atau nilai ambang batas mikroplastik di perairan sungai Indonesia. Hal ini juga sebagai implementasi lampiran 6 PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPLH yang menyebutkan baku mutu sungai harus “nihil sampah”.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan pemulihan lingkungan dan pembersihan sampah plastik yang tercecer ke lingkungan. Hal ini penting karena telah menjadi biang mikroplastik.
Selanjutnya, pemerintah diminta memperluas regulasi pembatasan dan pengurangan plastik sekali pakai di Indonesia. Kemudian secara tegas melarang penggunaan tas kresek, saset, styrofoam, botol air minum dalam kemasan/AMDK, popok dan sedotan di pusat perbelanjaan, pasar, supermarket, di setiap daerah.
Poin berikutnya, pemerintah harus mnerapkan konsep Zero Waste City dalam tata kelola sampah di setiap daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan mendukung pemilahan sampah dari sumber. Harapannya agar beban sampah di TPA berkurang dan sampah plastik tidak bocor ke lingkungan.
Pemerintah diminta untuk menaikkkan anggaran program tata kelola sampah di setiap daerah. Lalu menyediakan dan memperbanyak fasilitas pembuangan sampah drop point khusus saset, popok (organik dan anorganik) di titik- titik timbulan sampah yang tersebar di lingkungan. Kemudian juga memperbanyak TPS 3 R di setiap daerah;
Rafika juga meminta mendorong produsen penghasil sampah plastik khususnya saset untuk segara merancang dokumen peta jalan pengurangan sampah. Kemudian melakukan kiat-kiat pengurangan produk kemasan yang berpotensi mencemari lingkungan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pedoman regulasi Permen LHK 75 Tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah. Berikutnya, juga mendorong produsen penghasil sampah plastik untuk melakukan upaya EPR dengan melakukan pembersihan sampah produknya yang tercecer ke lingkungan.
Lalu memprioritaskan CSR lingkungan nya untuk penanganan sampah plastik. Rekomendasi terakhir, yakni pemerintah diminta mengembangkan inovasi program dan teknologi infrastruktur pengelolaan sampah yang mutakhir dan nonemisi dalam penanganan sampah plastik di lingkungan.
Kemudian diharapkan menolak solusi Refuse – Derived Fuel (RDF) yang merupakan bahan bakar dari limbah. "Atau dari sampah melalui proses dihomogenisasi menjadi pelet, briket dan cacahan," kata dia menambahkan.
Sebagai informasi, bahan bakar limbah dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini karena pembakaran RDF menghasilkan senyawa beracun kimia dioksin, logam berat, polutan organik dan partikel halus ke udara. Kondisi tersebut dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti kanker, masalah reproduksi, dan gangguan hormon.