REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Center of Economic and Law Studies (Celios) memprediksi, laju inflasi akan mencapai lima persen pada 2023. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, berlanjutnya eskalasi perang di Ukraina dan aksi Rusia mengurangi pasokan ekspor minyak ke Eropa akan memicu cost push inflation. Sementara, di dalam negeri tantangan kenaikan sisi permintaan muncul setelah pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.
"Ketika masyarakat mulai berbelanja secara bersamaan maka ada risiko inflasi sisi permintaan. Komponen transportasi selain pangan akan jadi penyumbang inflasi yang lebih besar pada 2023," ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (1/1/2022).
Bhima menjelaskan, ketika harga energi mengalami kenaikan maka akan langsung berimbas ke biaya transportasi. Bhima menyebut, stabilitas bahan pangan juga menjadi kunci dalam pengendalian inflasi. Maka itu, Bhima menyarankan pemerintah sebaiknya menambah dan memastikan pasokan subsidi pupuk tepat waktu dan tepat sasaran.
“Komoditas yang perlu diwaspadai antara lain beras, kedelai, gandum, bawang merah dan cabai, serta telur ayam,” ucapnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi tahunan hingga November 2022 sebesar 5,42 persen year on year (yoy). Angka inflasi tahunan mengalami penurunan dua bulan berturut-turut sejak September yang mencatat rekor inflasi 5,71 persen sejak awal tahun.
Dengan tingkat laju inflasi tahunan tersebut, angka inflasi bulanan tercatat sebesar 0,09 persen month to month (mtm) serta inflasi tahun kalender sebesar 4,82 persen year to date (ytd).
Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto menjelaskan, kelompok yang cukup tinggi mengalami inflasi yakni makanan, minuman, dan tembakau sebesar 5,87 persen yoy dengan andil 1,5 persen. Adapun komoditas yang dominan seperti rokok, beras, dan telur ayam.
Kelompok lainnya yakni transportasi sebesar 15,45 persen (yoy) dengan andil 1,86 persen. Kenaikan inflasi kelompok ini didominasi oleh inflasi tarif angkutan udara.